Teka-teki Menghilangnya Belut Sawah di Lebak

Pada era 1980-an, belut menjadi konsumsi andalan masyarakat untuk bahan makanan lauk-pauk dan camilan. Kini, semakin susah belut ditemukan.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Okt 2017, 14:18 WIB
Dalam sebuah video, seekor aligator tampak bertarung dengan seekor belut listrik dewasa.

Liputan6.com, Lebak - Populasi belut sawah (Monopterus albus) menghilang pada musim tanam padi di Kabupaten Lebak, Banten. Hal ini berdampak terhadap konsumsi masyarakat di daerah.

"Kami menduga menghilangnya populasi biota belut sawah itu akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan," kata Samian (50), seorang petani di Blok Cibungur Pasir Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Jumat (20/10/2017), dilansir Antara.

Pada era 1980-an, belut menjadi konsumsi andalan masyarakat sebagai bahan makanan lauk-pauk dan camilan. Populasi belut juga dijadikan sumber ekonomi petani karena hasil tangkapannya bisa dijual ke pasar.

Banyaknya orang yang mencari belut menyebabkan harga belut cukup tinggi, yakni bisa mencapai Rp 50.000/kg. Mereka ingin memakan belut karena besarnya manfaat hewan ini, seperti sumber protein cukup tinggi.

Namun, saat ini peredaran populasi belut semakin berkurang, bahkan menghilang. Hal ini akibat banyak petani menggunakan bahan kimia untuk mengelola sawahnya.

Saat ini, Samian mengaku sudah tidak pernah lagi menemukan belut di dalam pematang sawah maupun aliran irigasi. "Petani dan warga jika musim tanam padi biasanya melakukan perburuan belut, namun kini menghilang," katanya.

Menurut Samian, menghilangnya populasi belut itu karena penggunaan pestisida oleh petani yang semakin meningkat seiring serangan hama bertambah, terutama saat cuaca lembap akibat curah hujan tinggi.

Cuaca lembap itu biasanya menjadi musim berkembang biaknya hama wereng batang cokelat (WBC). Hal itu mendorong petani menyemprotkan pestisida kimia untuk memberantas hama.

Di samping itu, penggunaan pupuk anorganik untuk menyuburkan lahan ditengarai menjadi faktor menghilangnya belut sawah. Pasalnya, ekosistem belut menjadi rusak.

"Kami berharap petani ke depan bisa menggunakan pupuk dan pestisida yang ramah lingkungan dengan menggunakan organik dari kotoran ternak maupun pepohonan," katanya.

Pengakuan senada juga disampaikan Armadi (55), seorang petani Desa Sidomanik, Kabupaten Lebak. Ia mengatakan kini sudah tidak menemukan lagi populasi belut sawah maupun jenis ikan sungai lain yang biasa masuk ke areal persawahan.

Sebelumnya, kata dia, populasi belut dan ikan sungai, seperti betik, sepat, paray, lele, dan ranca melimpah. Namun, saat ini, di areal persawahan tidak pernah lagi muncul biota belut dan ikan sungai itu.

Kemungkinan menghilangnya ikan sungai itu akibat perburuan menggunakan bahan kimia, seperti cangkaleng juga penggunaan aliran setrum (listrik). Warga masih berburu dengan cara itu sehingga banyak anak-anak ikan mati.

"Kami berharap warga bisa menjaga ramah lingkungan tanpa menggunakan bahan kimia maupun penggunaan aliran setrum," katanya.

Kepala Bidang Komunikasi Dinas Lingkungan dan Kebersihan Kabupaten Lebak Iwan Sutikno mengatakan menghilangnya populasi belut akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebih mengancam menghilangnya ekosistem populasi belut sawah.

Selain itu, menghilangnya populasi belut sawah juga dipicu kondisi keasaman tanah yang jauh berkurang dampak pupuk kimia dan pestisida pembasmi hama. Apalagi, saat ini lumpur sawah cenderung lebih basah dengan suhu tinggi yang tidak cocok dengan populasi habitat belut.

"Kami berharap petani juga bisa menjaga ramah lingkungan dengan tidak mengandalkan terhadap pupuk dan pestisida yang menggunakan bahan kimia," katanya.

Saksikan video pilihan berikut:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya