Liputan6.com, Jakarta - Ramai orang datang ke Wamena, Papua pada Jumat 13 Oktober 2017. Tua, muda, hingga anak-anak antusias memeriksakan diri untuk mengikuti program "Kita Orang Harus Sehat" yang diselenggarakan Puskesmas Wesaput, Kabupaten Jayawijaya, Papua, dengan Pertamina PT Pertamina MOR VIII Maluku-Papua.
Dengan logat setempat yang kental, remaja di Wamena yang tengah hadir dalam pengobatan gratis, mengucapkan selamat Hari Sumpah Pemuda. Sementara anak-anak yang lebih kecil riang bernyanyi dalam bahasa Indonesia menirukan suara petugas puskesmas. Mereka menggambarkan kalangan muda Papua yang fasih berbahasa Indonesia, tetapi sudah tak begitu kenal dengan bahasa ibunya sendiri.
Baca Juga
Advertisement
Mama Katarina Haluk (45), ibu tiga anak yang ditanyai Liputan6.com, mengaku sudah tak mengajarkan bahasa daerah lagi secara khusus kepada anak-anaknya. Warga Distrik Wesaput, Wamena, ini mengaku, kala sedang bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah, anaknya bisa mengerti. Namun, anak-anaknya menjawab dengan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah.
Ketika ditanya, seorang pemuda asal suku Yahukimo bernama Nelson Meklok (23) mengakui memang penggunaan bahasa daerah oleh anak-anak muda di wilayahnya sudah bercampur dengan bahasa Indonesia, khususnya bahasa Sukume. Kadang-kadang mereka menggunakan bahasa daerah, tapi juga sering menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini akibat strategi politik bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa pendidikan.
Memang, Indonesia adalah negara yang dianugerahi kekayaan budaya yang melimpah. Tidak saja dalam hal beragamnya suku bangsa dan kesenian, tapi juga bahasa daerah. Berdasarkan data www.ethnologue.com, sebuah situs tentang bahasa-bahasa di seluruh dunia, Indonesia adalah negara kedua yang memiliki keragaman bahasa tertinggi. Posisi Indonesia persis di bawah Papua Nugini yang menempati urutan pertama dengan 852 bahasa.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (selanjutnya disebut Badan Bahasa) sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi masalah bahasa, sudah melakukan kajian mengenai bahasa-bahasa daerah di nusantara. Dalam beberapa periode (2008, 2013, 2016), Badan Bahasa telah mengindentifikasi bahwa Indonesia memiliki 646 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, baru 67 yang dicek vitalitas (daya hidup) bahasanya. Namun, mereka memperkirakan Indonesia setidaknya memiliki sekitar 700 bahasa daerah.
Sudah Sekarat
Berdasarkan data www.ethnologue.com (2015), terdapat 719 bahasa daerah di Indonesia. Dari jumlah itu, tercatat 13 bahasa sudah punah dan 706 bahasa masih hidup. Namun, yang perlu diperhatikan, dari 706 bahasa yang hidup itu, ada 341 bahasa daerah memerlukan perhatian khusus, dengan rincian 266 bahasa daerah berstatus lemah dan 75 bahasa berstatus sekarat.
"Bahasa daerah di Indonesia kalau mau kita potret, itu ada tiga golongan besar. Ada bahasa-bahasa daerah yang sehat dan kuat, ada bahasa daerah yang kondisinya terancam, dan ada juga bahasa-bahasa yang sekarat tinggal punah," ujar Prof Dr Multamia Retno Mayekti Tawangsih Lauder, SS, Mse, DEA, saat Liputan6.com berkunjung ke kediamannya di kawasan Kemang, Jakarta, pada Rabu, 11 Oktober 2017.
Guru Besar Universitas Indonesia ini melanjutkan, "Kalau bahasa disamakan dengan manusia, bahasa yang sehat ini adalah bahasa yang digunakan sehari-hari sebagai bahasa komunikasi. Nah, bahasa yang terancam adalah bahasa yang pada prinsipnya masih dipakai di antara mereka. Akan tetapi, penuturnya mulai berkurang —terutama generasi mudanya— mereka mulai beralih ke bahasa yang lain atau dialek yang lain."
Generasi muda merasa menguasai bahasa daerah tidak cukup menyejahterakan hidupnya. Itu karena kalau mau bekerja yang dipakai bahasa Indonesia, bukan bahasa daerahnya. Pakar dialektologi dan pemetaan bahasa ini melanjutkan, mereka pada akhirnya memilih menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu setempat untuk berkomunikasi sehari-hari.
"Nah, kalau bahasa yang sekarat itu adalah bahasa-bahasa yang menggunakannya sudah kelompok kakek-nenek. Jadi yang bisa (berbahasa daerah itu) hanya sesama mereka, sedangkan yang muda sudah sama sekali tak bisa. Jadi, suatu saat jika golongan 70-80 tahun ini 'berangkat' ke alam keabadian, bahasa ini ikut punah bersama mereka,” kata dia.
Advertisement
Bahasa Berstatus Punah
Melihat besarnya potensi kepunahan bahasa daerah, Badan Bahasa pun merasa perlu ada usaha untuk melindungi dan merevitalisasi bahasa daerah di Indonesia. Badan Bahasa turun langsung dan mengecek vitalitas (daya hidup) bahasa daerah, yakni memetakan bahasa dengan melihat secara langsung bagaimana penggunaan bahasa di suatu daerah.
"Yang paling penting, yakni metodologi pemetaan atau penelitian terhadap bahasa itu, siapa narasumber, siapa yang diwawancarai, apakah pimpinan daerah, camat, penduduk, tokoh masyarakat, dan lain-lain," ujar Kepala Badan Bahasa, Prof Dr Dadang Sunendar, MHum, saat ditemui di kantornya, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (9/10/2017).
Pemetaan dan pengklasifikasian vitalitas bahasa, menurut Dadang, sangat berguna sebagai landasan dalam menangani bahasa yang berstatus "aman" hingga "punah". Dengan begitu, penanganan bahasa daerah yang memerlukan konservasi dan revitalisasi dapat dilakukan.
"Khusus untuk bahasa yang telah berstatus 'punah' langsung dilakukan konservasi (pendokumentasian) untuk setidaknya menyelamatkan kekayaan daerah yang pernah ada," kata dia.
Penyebab Kepunahan
Dari kajian yang dilakukan Badan Bahasa, Dadang Sunendar menyebutkan setidaknya ada beberapa penyebab kepunahan bahasa daerah. Pertama, penyusutan jumlah penutur yang di antaranya karena kematian. Misalnya, perang yang menyebabkan suku tertentu kehilangan anggotanya dalam jumlah banyak, sehingga pengguna bahasa di komunitasnya berkurang.
"Kemudian, bencana alam yang besar, yang menewaskan banyak penutur bahasa tertentu," kata dia. "Yang ketiga, kami melihat kawin campur pun bisa memberikan sumbangan terhadap pengurangan bahasa daerah. Sebetulnya harapan kita dari Badan Bahasa kawin campur justru akan menambah penguasaan anak-anaknya, masyarakat, terhadap bahasa daerahnya. Tapi ternyata (malah) berkurang," ujar Dadang.
Ia mencontohkan, orang Jawa menikah dengan orang Minang, tapi keturunannya hanya menguasai salah satu bahasa kedua orangtua, atau bahkan tidak sama sekali menguasai bahasa Jawa dan Minang. Faktor keempat adalah letak geografis. Ini terjadi pada daerah-daerah yang letak geografisnya dianggap kurang menguntungkan dari sisi pemertahanan bahasa. Misalnya, wilayah-wilayah pesisir pantai dan tempat bertemunya berbagai suku bangsa.
"Kadang-kadang, itu bisa menghilangkan identitas bahasa seseorang. Ketika berkumpul mereka mencari bahasa yang dipahami semua orang, yakni bahasa Indonesia sebagai bahasa negara," kata orang nomor satu di Badan Bahasa itu.
"Selain itu —ini yang paling penting— yaitu sikap masyarakat terhadap bahasa itu. Kalau sikap masyarakat kurang hormat dan tidak mencintai bahasa itu, dengan sendirinya akan mengurangi vitalitas atau daya hidup bahasa itu," ucap Dadang. Sebaliknya, ia menambahkan, jika sikap masyarakat positif, bahasa daerah itu tetap ada.
Multamia —yang ditemui di tempat berbeda— menambahkan, desakan ekonomi juga bisa menjadi faktor yang menggerus penggunaan bahasa daerah. "Misalnya di masyarakat Bajo. Mereka itu berbahasa Bajo di antara mereka. Akan tetapi, karena ada kapal-kapal penangkap ikan dengan alat untuk mengeruk ikan segitu banyak. Jadi, apa yang ditangkap kapal-kapal itu dalam satu hari sama dengan ikan yang mereka tangkap dalam satu bulan. Lama-kelamaan ikan menjadi habis, lalu mereka tidak bisa lagi hidup dari mencari ikan," kata dia.
"Terpaksa mereka harus turun ke darat. Nah, ketika turun ke darat, mereka tidak bisa menggunakan bahasa Bajo lagi," ujar profesor di bidang linguistik ini. Di darat, mau tidak mau, mereka harus menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu lokal untuk berkomunikasi.
Desakan ekonomi inilah yang memaksa mereka untuk beralih ke bahasa lain. Ini diperparah dengan tidak adanya pelajaran bahasa daerah mereka dalam kurikulum pendidikan setempat.
Advertisement
Memperlambat Kepunahan
Saking parahnya, Multamia menilai urgensi penyelamatan bahasa-bahasa daerah dari kepunahan ada di angka 8 dari skala 10. "Dari 706 bahasa daerah di Indonesia yang tersisa, sekitar 50 persen sudah dalam kondisi terancam. Tentu ada yang terancam, tapi masih bisa diselamatkan, direvitalisasi. Namun, ada yang sudah terancam menuju sekarat dan sudah tidak bisa diselamatkan," ia menjelaskan.
Perempuan yang meraih dua gelar magisternya di Prancis itu menyebut tingginya persentase bahasa-bahasa daerah yang berstatus terancam sebagai sebuah kerawanan. "Mengapa? Karena mereka-mereka itulah yang membentuk kebinekaan budaya bangsa kita. Kalau lebih dari separuh mereka (bahasa-bahasa daerah) itu punah, lama-lama budaya kita akan menjadi kebudayaan monolingual. Dan itu sudah tidak menarik lagi. Indonesia itu menjadi sangat menarik dan unik karena keragamannya."
Seturut dengan itu, Badan Bahasa juga menekankan, kehilangan bahasa berarti kita akan kehilangan daya kreativitas dan pemikiran sebagai realisasi kebudayaan. Sebab, bahasa bukan sekadar sekumpulan kata atau seperangkat kaidah tata bahasa, melainkan juga khazanah pemikiran berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai keunikan sebagai refleksi pemikiran dan pengetahuan.
Kebijakan terkait bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah, sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. "Di Pasal 42 dikatakan, pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah, berkoordinasi dengan lembaga kebahasaan,” kata Dadang.
Ia menegaskan, kewajiban utama pelestarian bahasa daerah dan sastra daerah itu ada di pemerintah daerah, bekerja sama dengan Badan Bahasa. "Jangan sampai ada bahasa daerah di suatu kabupaten atau kota tanpa kepala daerahnya mengetahui tentang itu. Padahal, kewajiban pertamanya (pelestarian bahasa) ada di pemda," ujar Dadang Sunendar.
Tak hanya itu, Badan Bahasa juga menyiapkan bantuan-bantuan teknis untuk menangani kepunahan bahasa. Misalnya, membuat kamus bahasa daerah sebagai pedokumentasian bahasa daerah yang terancam punah. Badan Bahasa juga menyelenggarakan seminar-seminar kebahasaan dan mencari strategi untuk menangani bahasa daerah yang punah di daerah tertentu.
Selain itu, Badan Bahasa juga melakukan pelatihan-pelatihan dan pembekalan terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan peneliti juga perguruan tinggi setempat. "Tidak mungkin penduduk dibiarkan begitu saja dalam melestarikan bahasa daerah. Mereka harus diberi panduan-panduan dengan berbagai cara," ujar Dadang.
Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah program revitalisasi bahasa Hitu pada 2016 dengan berbasis komunitas, yakni pendekatan terhadap masyarakat Negeri Hitu Lama. Badan Bahasa bekerja sama dengan Kantor Bahasa Maluku dan Pemerintah Provinsi Maluku (melalui Pendidikan dan Kepemudaan) melakukan berbagai langkah percontohan.
Di antaranya, menjadikan 20 rumah tangga sebagai model percontohan yang mempergunakan bahasa daerah secara aktif, evaluasi dan pengajaran bahasa daerah satu kali setiap pekan, menetapkan hari Minggu sebagai hari wajib berbahasa daerah di rumah, dan hari Sabtu wajib berbahasa daerah di sekolah, serta menggunakan bahasa daerah dalam spanduk-spanduk di ruang publik.
Di sisi lain, upaya yang dilakukan Multamia sebagai akademisi adalah menularkan pengetahuan mengenai keanekaragaman dan kondisi bahasa-bahasa daerah di Indonesia ke mahasiswanya, baik S1, S2, dan S3. Baginya, bahasa-bahasa daerah di Indonesia belum banyak yang diteliti. Teori Barat yang banyak saat ini justru berangkat dari bahasa mereka yang homogen. Kondisi ini tentu berbeda dengan heterogenitas bahasa yang terjadi di Indonesia.
"Kerumitan-kerumitan yang ada di sini justru nanti bisa memodifikasi teori Barat itu, bahkan menelurkan teori-teori baru. Saya berharap mahasiswa saya, baik S1, S2, dan S3 ada yang mau melakukan penelitian untuk skripsi, tesis, atau disertasi mengenai bahasa-bahasa daerah yang terancam punah ini," ucap dia.
Mia menambahkan, "Masalahnya, orang bertanya ngapain sih teliti bahasa-bahasa yang sekarat? Untungnya apa? Kalau dihitung secara ekonomi memang tidak ada untungnya, tetapi secara pengembangan ilmu pengetahuan, (nilainya) tinggi sekali."
Butuh Dukungan
Selain itu, Multamia berpendapat, hal lain yang perlu dilakukan adalah dukungan dari sisi perundang-undangan. "Kita sudah punya undang-undang bahwa negara itu menghormati dan melindungi bahasa daerah. Tetapi kan, baru sampai di situ. Yang harus dibuat adalah undang-undang yang harus lebih detail lagi," ujar dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya itu.
"Sekarang kebetulan saya diminta untuk membuat RUU Bahasa Daerah. RUU Bahasa Daerah ini sudah jadi, tapi masih dalam antrean di DPR untuk dibahas. Mungkin di DPR ada hal-hal yang secara politis lebih penting. Sehingga ini mungkin belum sempat dibahas. Saya berharap tahun depanlah dibahas supaya ada undang-undang bahasa daerah ini. Supaya bahasa daerah secara legislatif juga kuat," kata dia.
Kalau ada undang-undangnya, menurut Mia, jika akan berkegiatan, maka bisa dialokasikan dananya. "Kalau sekarang masalahnya, guru-guru bahasa daerah itu tidak bisa dibayar. Enggak ada undang-undangnya katanya. Jadi sekarang, yang mengajar bahasa daerah itu kita titipkan kepada guru matematika, guru fisika, guru sejarah yang sebenarnya itu bukan kepakaran mereka," ia menegaskan.
Dari segi masyarakat, itu semua terpulang kepada masyarakat, terutama kepada generasi muda. Multamia bercerita, dulu pernah dilakukan pencatatan kosakata bahasa daerah dari orang yang sudah tua, tapi hasilnya bahasa itu tetap saja punah.
"Jadi apa yang masih kurang? Tampaknya kita kurang melibatkan generasi muda. Ajak generasi muda, diberi pengertian bahwa itu adalah kekayaan, bahwa itu adalah jati diri dia. Itu yang harus dibangkitkan, bahwa dia dengan bahasanya masing-masing, dengan budayanya masing-masing, mempunyai keunikan-keunikan sendiri di dunia, bukan saja di Indonesia," katanya.
Mia berpendapat generasi muda bersama pemerintah setempat dapat menghidupkan kembali bahasa daerah, misalnya menggelar festival lagu-lagu bahasa daerah dengan gaya dangdut, rock, jazz, dan sebagainya.
Namun, di bagian timur Indonesia, tempat sebagian bahasa daerah terancam punah, upaya pelestarian bahasa daerah agak lebih sulit dilakukan. Katharina Lita, kontributor Liputan6.com di Papua, menyebutkan, pertama, tidak ada program hari khusus berbahasa daerah, karena dalam satu kabupaten saja bisa jadi ada beberapa bahasa daerah, bukan variasi dialek. Hal ini wajar mengingat kondisi Papua yang berupa pegunungan dan lembah membuat tiap suku di masa lampau saling terisolasi dalam mengembangkan bahasa daerahnya sendiri.
Kedua, tidak adanya kebijakan berupa muatan lokal. Sebab, perumusannya sangat sulit akibat bahasa daerah yang sangat banyak dan bervariasi. Kebijakannya pun tidak bisa menyeluruh karena akan sangat sulit membuat muatan lokal bahasa daerah yang berbeda-beda untuk tiap kabupaten. Hal ini sejalan dengan teori, bahasa daerah sebagai jati diri penuturnya. Tidak mungkin pemerintah memaksakan seseorang belajar bahasa yang bukan jati dirinya.
Advertisement
Bahasa Ibu Termasuk Hak Asasi
Dalam konferensi-konferensi internasional mengenai bahasa, PBB —dalam hal ini UNESCO— mengakui bahwa bahasa ibu adalah salah satu dari hak asasi manusia. Seorang anak, selain punya hak untuk hidup dengan layak, hak mendapat pendidikan dan bersekolah, juga memiliki hak untuk berbahasa sesuai dengan bahasa ibunya.
"Kalau kondisinya di suatu negara yang homogen, itu enggak masalah. Misalnya orang Jerman, dia bisa mendapatkan haknya bersekolah dengan bahasa Jerman. Kalau sekolahnya di Indonesia, itu enggak bisa," Mia menegaskan.
Bagi dia, tidak mungkin sekolah menyediakan guru untuk setiap anak yang berasal dari beragam suku guna diajarkan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing di sekolah.
"Coba Anda bayangkan kalau keputusan negara bahwa pendidikan itu dilakukan dalam bahasa daerah, berapa banyak buku sejarah yang harus kita tulis dalam 706 bahasa itu? Untuk satu pelajaran, lho. Dan berapa banyak guru yang harus kita sediakan hanya untuk misalnya pelajaran sejarah untuk 706 bahasa itu? Padahal, bahasa itu ada yang penuturnya sedikit, ada yang sudah mau sekarat, kan? Jadi, kita memang harus menggunakan bahasa Indonesia," Mia menjelaskan.
Oleh karena itu, UNESCO sangat berkepentingan menjaga dan memelihara bahasa karena itu terkait salah satu hak. Bahasa daerah juga merupakan ciri dan jati diri yang unik serta harus dipertahankan. "Jangan sampai dunia ini menjadi dunia yang semuanya sama," ujarnya.
Namun begitu, Multamia tetap optimistis bahasa daerah tetap punya tempat di masyarakat. Hanya saja, orang tidak sadar kalau bahasa ini terkait dengan masalah jati diri. "Bahasa daerah itu kan jati diri. Contoh sederhana, kalau Anda berbahasa Indonesia bersama saya, lalu ada orang datang, 'Anda berbahasa Malaysia, ya?' Mau enggak Anda disebut begitu? Enggak mau, kan? Karena ini terkait dengan jati diri," kata Mia.
Padahal, secara linguistik, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia itu sama-sama bahasa Melayu, meski ada kosakata yang berbeda. "Jadi, bisa dibayangkan orang yang menggunakan bahasa daerah yang berbeda, nah dia dianggap suku yang berbeda. Misalnya dia orang Aceh dianggap orang Batak, tentu tidak mau. Itu kan ada masalah jati diri," Mia menjelaskan.
Dengan kekayaan itu, negara kita memiliki daya tarik tersendiri bagi para peneliti dunia untuk mengkaji dan meneliti ke Indonesia karena negara kita seperti laboratorium besar yang penuh dengan data-data yang luar biasa. "Jadi kalau kita tidak menjaga, merawat, dan mendokumentasikan bahasa daerah, sangat disayangkan,” ujar Kepala Badan Bahasa menegaskan.
Contoh sukses kajian mengenai bahasa daerah terjadi pada penelitian dalam bahasa Kerinci. Multamia bercerita mengenai salah satu penelitian mahasiswa S2-nya tentang fonologi dan konstruksi bunyi bahasa Kerinci. Hasil penelitian mahasiswa tersebut ternyata sekaligus dapat dijadikan dasar untuk membuat ortografi ejaan dalam bahasa Kerinci.
Dengan begitu, resep-resep masakan, adat istiadat perkawinan, upacara-upacara adat, cerita sejarah lokal, dan lagu-lagu daerah itu bisa dituliskan. Dari penelitian itu, dampak secara sosiokulturalnya ternyata sangat besar. Banyak nasihat, nilai tata krama dan sopan santun, serta kearifan lokal yang bisa kita gali. Keragaman bahasa daerah inilah yang pada akhirnya membuat Indonesia disebut bineka.