Dari Indonesia, Barack Obama Menulis Surat untuk Sang Kekasih...

Surat itu menguak sisi emosional Obama saat berusia 20 tahun, yang dikerubungi asmara dan kegelisahan remaja.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 20 Okt 2017, 16:33 WIB
Surat Barack Obama muda untuk kekasihnya semasa kuliah (AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Sejumlah surat yang menyentuh perasaan ditulis oleh Barack Obama muda untuk kekasihnya semasa kuliah, Alexandra McNear. Ekspresi curahan hati pria yang kelak menjadi Presiden Amerika Serikat itu baru-baru ini terungkap ke publik.

Surat-surat itu, yang jumlahnya sembilan buah itu, menguak sisi emosional Obama saat berusia 20-an tahun.  Kala itu, ia dalam kondisi galau soal asmara, kegelisahan remaja, kekhawatiran tentang ras, kelas sosial, juga persoalan uang.

Semua surat itu ditulis tangan oleh Obama. Salah satunya bahkan ditulis saat "Si Anak Menteng" berada di Indonesia, saat ia mengunjungi sang ibu, Ann Dunham, dan adik tirinya, Maya Soetoro.  

Rose Library di Emory University memperoleh surat-surat itu pada 2014. Tahun ini, surat tersebut akan segera dirilis.

"Surat itu dibuat dengan sangat indah, yang menunjukkan proses pencarian jati diri dari seorang pemuda," jelas Direktur Rose Library, Rosemary Magee, seperti dikutip BBC, Jumat (20/10/2017).

"Masalah yang dihadapi (Obama) serupa dengan apa yang dihadapi oleh seluruh siswa dan pemuda di mana pun mereka berada," ujar Magee.

 


Bicara soal Indonesia

Obama juga pernah muda | via: 9gag

Obama dan Alexandra McNear bertemu di California saat masih berstatus sebagai mahasiswa. 

Surat yang ditulis pada 1982 hingga 1984 itu menarasikan kisah cinta Obama dan gadis kulit putih pujaannya itu, yang menjalin hubungan jarak jauh. Tak hanya soal asmara, tapi juga kegelisahan dan perjuangan pemuda yang besar di Chicago itu.

Dalam salah satu suratnya, Obama menulis, "Aku merindukanmu, kekhawatiranku padamu seluas angkasa, kepercayaanku padamu sedalam samudera, dan cintaku padamu begitu berlimpah."

"Salam sayang, Obama," tutup surat itu.

Hubungan jarak jauh itu berakhir pada 1983. Dalam sebuah surat pada tahun tersebut, Obama menulis, "Aku sering memikirkanmu, tapi aku bingung dengan perasaanku. Kita menginginkan apa yang tidak bisa kita miliki. Hal itu membuat kita terpikat dan juga berjarak satu sama lain."

 

Merasa Terasing di Indonesia

Dalam sebuah surat, Obama bercerita teman-temannya yang sudah mulai mapan atau mengendalikan bisnis warisan keluarga.

Namun, kemewahan itu tak dirasakan Obama. Ia lahir di Hawaii, dari ayah yang berasal dari Kenya, dan menghabiskan masa kecilnya di Indonesia. Pemuda itu merasa berbeda dari teman-temannya. "Aku akui, aku merasa iri," kata dia.

"Tanpa kelas dan struktur sosial, atau tradisi yang memudahkan jalanku, aku merasa harus mengambil jalur yang berbeda," kata Obama muda. 

Obama merasa terisolasi. "Satu-satunya cara untuk mengatasi perasaan terisolasi itu adalah dengan menyerap semua tradisi dan kelas sosial. Aku menjadi mereka dan mereka menjadi aku."

Pada 1983, Obama yang baru lulus dari Columbia University sempat kembali ke Indonesia, tempat di mana ia pernah dibesarkan. 

Namun, ia tak merasa pulang. Obama merasa Indonesia bukan lagi rumahnya. "Aku bahkan tak lagi bisa berbahasa (Indonesia) dengan baik," kata dia.

"Aku diperlakukan dengan beda, ada yang segan, ada pula yang mencemooh karena aku orang Amerika. Uangku dan tiketku pulang ke AS dianggap lebih penting dari kulitku yang hitam."

"Aku melihat jalanan yang redup, rumah-rumah reyot di kelokan-kelokan sawah, jalan yang dulu pernah kulalui, namun tak lagi bisa kulewati."


Idealisme Obama Muda

Lulus dari Columbia University, Obama bertekad untuk bekerja sebagai agen perubahan sosial dengan berkontribusi dalam proyek-proyek komunitas dan terlibat dalam aktivisme swadaya masyarakat.

Namun, seperti kebanyakan pemuda lain di masanya, Obama juga mengalami kemelut untuk mempertahankan semangat idealismenya.

Ia mengalami pertentangan, apakah tetap bertahan bekerja dalam aktivisme swadaya masyarakat dengan upah yang sedikit atau meniti karier di bidang lain yang lebih menguntungkan secara finansial.

"Pada satu pekan, aku tidak memiliki uang bahkan hanya untuk mengirim sampel tulisan lewat pos. Aku punya beberapa, tapi uang itu akan kupakai untuk menyewa mesin ketik," ucap Obama muda pada 1983.

"Gaji di organisasi swadaya sangat sedikit. Aku berharap dapat bekerja di sektor yang lebih konvensional dengan gaji yang cukup untuk satu tahun ke depan, menabung untuk mengejar mimpiku di kemudian hari."

Ia kemudian bekerja di Business International, firma bisnis-korporat. Di sana, Obama mengaku cukup sukses melaksanakan pekerjaannya.

"Aku termasuk salah satu pemuda yang menjanjikan, semua orang mengapresiasi kerjaku."

Namun, Obama khawatir, pekerjaan korporat akan menumpulkan insting aktivisme dan merusak nilai-nilai idealisme dalam dirinya. Tak lama bekerja, Obama kemudian mengundurkan diri dari Business International.

Mengenai pengalaman itu, dalam sebuah surat pada 1984 kepada Alexandra, Obama menulis sebuah curahan hati yang mungkin mencerminkan masa depannya sebagai calon Presiden AS.

"Ide-ideku tidak terkristalisasi seperti saat kuliah dulu. Saat ini, ideku memiliki bobot dan lebih segar. Mungkin aku akan lebih berguna untuk orang banyak jika aku banyak berpartisipasi, ketimbang sekadar mengobservasi."

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya