Praktisi Internet: Mesin Sensor Kemkominfo Kemahalan

Mesin sensor internet tersebut diungkap memiliki nilai tender lebih dari Rp 194 miliar

oleh Jeko I. R. diperbarui 20 Okt 2017, 20:00 WIB
M. Salahuddien, praktisi internet dari ID Institute. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Liputan6.com, Jakarta - Dalam rangka menangkal menjamurnya situs web bermuatan konten negatif--seperti radikalisme dan pornografi--Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tengah menyiapkan mesin dengan sistem penyaring konten (mesin sensor internet) bernama Crawler.

Karena namanya Crawler, mesin tersebut bakal menjelajah (crawling) semua konten di internet, serta mendeteksi apakah konten yang dimuat pada situs web tertentu, tergolong konten negatif atau tidak.

Dengan demikian, mesin bisa menyaring dan melakukan sensor secara otomatis tanpa harus lebih dulu menunggu laporan warganet.

Mesin tersebut diungkap memiliki nilai tender lebih dari Rp 194 miliar, sedangkan Kemkominfo sendiri mengklaim akan mengendalikan mesin secara langsung. Dalam hal ini lembaga Internet Development (ID) Institute menganggap nilai mesin sensor internet ini terlalu tinggi.

Seperti disampaikan praktisi ID Institute M Salahuddien, jika memang Kemkominfo bersedia untuk mengendalikan mesin tersebut, seharusnya nilainya tak harus sampai miliaran. Menurutnya, justifikasi yang dilakukan Kemkominfo sangat lemah.

Salahuddien juga menilai, tak sepantasnya mesin ini dibandingkan dengan mesin penyaring konten besutan Google karena nilainya sama-sama tinggi.

"Ya tentu saja enggak adil kalau dibandingkan dengan (punya) Google misalkan, karena kita tahu Google kan gratis. Ya tapi kurang lebih kalau pun itu ada harganya tentunya enggak segitu nilainya," ujar Salahuddien kepada Tekno Liputan6.com usai acara diskusi media ID Institute di Jakarta, Jumat (20/10/2017).

Lantas, jika mesin sensor internet milik Kemkominfo dikritik terlalu mahal, berapa harga yang paling ideal untuk sebuah mesin semacam ini?


Harusnya Bisa Lebih Terjangkau

Dilanjutkan Salahuddien, menurutnya nilai mesin sensor internet bisa lebih terjangkau jika mesinnya dibesut oleh pihak ketiga.

"Sekarang begini, kalau kita menggunakan mesin Crawler sendiri, misalnya kita menggunakan layanan pihak ketiga ya itu langganannya juga enggak mahal. Ya ordernya enggak sampai ratusan juta. Itu kita bisa berlangganan," terangnya menjelaskan.

"Kita hitung saja layanan (penyaringan konten) yang lazim itu berapa harganya. Jadi, silakan dihitung sendiri, enggak sampai ratusan juta kok (dengan pihak ketiga) tanpa harus membangun infrastruktur sendiri," tukas Salahuddien.

Karena itu, Salahuddien berharap mesin penyaringan konten negatif baiknya dibesut oleh pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk transparansi penekanan biaya dan akuntabilitas.

"Nah kalau (Kemkominfo) bangun sendiri kan harus ada cost benefit ratio dan benefit analysis-nya serta berapa biaya per query. Itu kan harus bisa diterjemahkan, dikualifikasi, tujuannya adalah untuk accountability," pungkasnya.

ID Institute adalah lembaga kajian independen yang memiliki misi untuk meningkatkan pemahaman dan pemanfaatan internet secara positif di Indonesia. Kajian dilakukan berdasarkan fakta, data, analisis, dan pengalaman anggota-anggotanya sebagai praktisi di dunia internet.

(Jek/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya