Sinyal Penting dari Kegempaan Gunung Agung yang Turun Drastis

Berkaca pada pengalaman Gunung Merapi dan Sinabung, letusan justru terjadi saat aktivitas kegempaan menurun drastis.

oleh Dewi Divianta diperbarui 22 Okt 2017, 11:01 WIB
Kondisi Gunung Agung terpantau lewat satelit. (dok. BNPB)

Liputan6.com, Karangasem - Dalam dua hari terakhir, aktivitas kegempaan di Gunung Agung menurun cukup drastis. Kepala ‎Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kasbani memaparkan, Gunung Agung hanya diguncang gempa sebanyak 379 kali pada Jumat, 20 Oktober 2017.

Sementara pada Sabtu, 21 Oktober 2017, hingga pagi tadi baru 99 kali gempa yang terekam seismograf PVMBG. Jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, penurunan itu terbilang drastis. Sebab, Kasbani menyebut biasanya Gunung Agung dihantam gempa di kisaran angka 500 hingga di atas 1.000 tiap harinya.

"Tapi, ini sesaat dan jangan dijadikan pedoman untuk penurunan status, karena harus didukung oleh data yang lainnya," ucap Kasbani di Pos Pengamatan Gunung Api Agung, kemarin.

‎‎Menurutnya, penurunan drastis ini bukan berarti gunung setinggi 3.142 mdpl itu kembali tertidur. Sebaliknya, hal itu mengindikasikan jika sumbat lava yang menjadi penghalang pergerakan magma mulai terkikis.

Kegempaan yang selama ini terjadi berkaitan dengan penghancuran sumbat lava di leher Gunung Agung. Jika sumbat lava telah hancur, tak ada lagi gesekan yang menimbulkan kegempaan karena jumlah gempa vulkanik yang terekam masih terbilang tinggi dibandingkan kondisi sebelum status Gunung Agung dinaikkan bertahap.‎

Saat kondisi normal, tepatnya sejak 1964 atau setahun setelah meletus, jumlah kegempaan Gunung Agung bisa dihitung jari tiap bulannya. ‎"Vulkaniknya masih relatif tinggi. Ini masa fluktuatif, bisa jadi dia akan naik kembali," kata dia.

Kasbani tak berani menyebut dengan kondisi itu letusan Gunung Agung sudah semakin dekat. ‎"Saya tidak mengatakan itu, tapi ini masih status Awas. Kapanpun bisa terjadi (letusan)," tutur dia.

Ia melanjutkan, pada saat kondisi kegempaan turun, warga diminta untuk berhati-hati. Berkaca dari pengalaman letusan gunung api di berbagai daerah, letusan terjadi saat aktivitas kegempaan menurun.

‎"Gunung Merapi tahun 2006, dia meletus pada saat kegempaannya menurun. Gunung Sinabung juga sama. Pernah terjadi letusan pada tahun 2013 pada saat di level III, pada saat turun," ucapnya.

Saat ini, jumlah kegempaan Gunung Agung masih relatif tinggi dibandingkan dengan gunung lain yang telah meletus, seperti Gunung Merapi dan Sinabung. Meski dihantam gempa cukup tinggi tetapi belum juga meletus, Kasbani menilai hal itu karena tiap-tiap gunung memiliki karakteristik berbeda-beda.‎

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 


Pertanda Hewan Turun dari Gunung

Penduduk mengamati Gunung Agung dari Desa Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, Rabu (11/10). Menurut BNPB, aktivitas vulkanik Gunung Agung masih tinggi sehingga PVMBG masih menetapkan status awas sejak 22 September lalu hingga saat ini. (AP/Firdia Lisnawati)

Ada kepercayaan umum bagi masyarakat Indonesia jika hewan-hewan turun gunung, pertanda gunung akan segera meletus. Begitu juga warga di sekitar lereng Gunung Agung. Namun, tanda alam itu ternyata tak melulu benar.

Hal itu yang disampaikan oleh Ketua Tim Tanggap Darurat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) untuk Gunung Agung, Devy Kamil Syahbana. "Tidak melulu juga tanda hewan turun berarti gunung akan meletus," kata Devy di Pos Pemantauan Gunungapi Agung, Rendang, Jumat, 20 Oktober 2017.

‎Kendati begitu, Devy enggan menyalahkan kepercayaan umum masyarakat tersebut. ‎"Mungkin itu kearifan lokal dari masyarakat. Mereka mempercayai itu dan itu adalah hak mereka," ucap Devy.

Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur PVMBG itu melanjutkan, tugas lembaganya adalah merekomendasikan langkah penanggulangan bencanaGunung Agung secara ilmiah berdasarkan data-data yang mereka rekam dengan peralatan canggih.

"Kalau data-data menunjukkan aktivitasnya naik ya, kita naikkan. Lalu kita melakukan asessment bahaya itu lewat pemodelan," tuturnya.

Dengan menyatakan hal itu, Devy ingin memberikan pendekatan berbeda perihal aktivitas gunung api. ‎"Kita melakukan pendekatan melalui peralatan, sementara mereka pendekatannya melalui perilaku hewan. Kalau masalah perilaku hewan saya tidak tahu. Itu bukan bidang saya," ujarnya.

Namun, Devy menyebutkan contoh perihal perilaku hewan saat bencana gunung meletus. Ia menyebutkan sejarah letusan Gunung St. Helen di Skamania County, Washington DC, Amerika Serikat, yang berbanding terbalik dengan kepercayaan masyarakat di Indonesia.

"Di St. Helen itu kan miliaran jumlah hewan mati karena letusannya pada tahun 1980. Itu adalah bukti bahwa sebetulnya alam ini mempunyai tanda-tanda yang mungkin tidak bisa dipahami secara komprehensif bukan hanya oleh manusia, tapi juga oleh hewan. Buktinya hewan juga banyak jadi korban," ucap dia.

Begitu pula di Indonesia. Saat Gunung Merapi meletus, tak sedikit hewan yang mati. ‎"Kalau kita lihat kasus Merapi, banyak juga hewan yang mati. Tidak semuanya selalu selamat," ulasnya.

"Yang paling bijak ketika dia beraktivitas adalah hormati Gunung Agung. Nanti suatu saat dia normal kita bisa balik lagi. Tapi kalau dia di atas normal tapi kita cuek-cuek saja, jangan sampai dipikir kita nantangin," kata Devy menambahkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya