Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan kembali rencana pembentukan holding badan usaha milik negara (BUMN). Sebab, besarnya ukuran sebuah perusahaan tidak menjadi jaminan untuk memenangi kompetisi bisnis.
Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kusdhianto Setiawan mengatakan, alasan pemerintah menggabungkan beberapa perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor bisnis yang sama adalah untuk memperbesar skala perusahaan. Salah satunya agar bisa lebih mudah mencari pendanaan untuk keperluan ekspansi.
Advertisement
Namun menurut dia, dalam persaingan bisnis global saat ini, ukuran perusahaan sudah tidak menjadi syarat penting lagi dalam memenangi kompetisi.
Dia mencontohkan, banyak perusahaan transportasi konvensional besar di Indonesia akhirnya kalah bersaing dengan perusahaan penyedia layanan transportasi online yang lebih inovatif dan peka kebutuhan masyarakat.
“Lihat saja taksi konvensional tiba-tiba mati karena tidak siap dengan inovasi dan business model yang baru,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (22/10/2017).
Selain itu, Kusdhianto tidak yakin holdingisasi BUMN yang dilakukan pemerintah bisa mencapai tujuan efisiensi penggunaan dana investasi. Pasalnya, untuk beberapa sektor seperti minyak dan gas bumi (migas) memang membutuhkan investasi yang besar jika mau berkembang.
Dia mencontohkan, wacana menggabungkan PGN dan Pertagas sebagai anak usaha Pertamina tidak akan mampu menciptakan efisiensi investasi.
“Sekarang PGN dan Pertagas punya aset sendiri, lalu dengan digabungkan harapannya bisa efisiensi dan membuat struktur modal yang lebih baik. Tetapi efisiensi dalam operasi bisnisnya belum tentu. PGN sudah punya jalur distribusi sendiri, Pertagas juga. Kalau disatukan, asetnya tetap sulit digabungkan,” kata dia,
Terlebih, ucap Kusdhianto, dengan status PGN sebagai perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Dia mencatat sejak wacana penggabungan PGN dengan Pertagas, harga sahamnya terus merosot. Pada Januari 2016, harga saham PGN tercatat masih ada di level Rp 6.050 per saham.
“Saat sering diberitakan, muncul ketidakpastian bagi investor. Risiko pasarnya naik. Sehingga di November harganya turun jadi Rp 2.300 per saham. Ini akibat melempar wacana soal holdingisasi dan merger yang belum matang, tetapi sudah dilempar ke publik,” ucap dia.