Liputan6.com, Jakarta - Sebagai akademisi yang sudah puluhan tahun tinggal dan berkarir di luar negeri dan mengajar atau riset di beberapa negara, saya merasa senang di satu sisi, tapi juga prihatin di pihak lain dengan perkembangan dunia akademik, khususnya perguruan tinggi (PT) di Tanah Air.
Senang karena sejak beberapa tahun terakhir, banyak PT di Indonesia yang mendapat limpahan para doktor, baik alumnus dalam negeri maupun luar negeri.
Advertisement
Para doktor didikan universitas-universitas berkualitas di negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Eropa juga lumayan banyak.
Belum lagi dari kampus-kampus di kawasan Asia terutama Malaysia, Jepang, Singapura atau Republik Rakyat China (RRC).
Pemandangan menggembirakan akhir-akhir ini tentu saja jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana kampus-kampus seperti "paceklik" doktor.
Banyaknya doktor itu tidak lepas dari banyaknya beasiswa yang digelontorkan oleh pemerintah untuk para dosen berkualitas, yang belum sempat mengenyam pendidikan doktoral, baik di dalam maupun luar negeri.
Selain itu, beberapa tahun terakhir ini, negara-negara lain seperti Turki, RRC, Australia, atau Amerika Serikat juga cukup banyak yang menawarkan beasiswa doktoral ke kader-kader terbaik di Indonesia.
Indikator lain, misalnya, semakin menjamurnya jurnal-jurnal akademik.
Terlepas dari masalah kualitas, hampir semua PT di Indonesia kini memiliki "jurnal ilmiah". Tradisi penulisan dan publikasi yang meningkat ini, tentu saja sangat menggembirakan dan perlu diapresiasi.
***
Tetapi di pihak lain, saya juga merasa sedih dan prihatin. Sedih dan prihatin karena hingga kini, belum ada kampus-kampus di Indonesia yang diperhitungkan di negara lain.
Citra dunia pendidikan Indonesia di luar negeri masih sangat memprihatinkan. Di dunia akademik, Indonesia belum menjadi kawasan yang disegani.
Harus diakui secara jujur, meskipun getir, reputasi dunia pendidikan Indonesia masih 11-12 dengan negara-negara Afrika, Amerika Latin, atau Asia Tengah/Selatan.
Bahkan dengan negara tetangga Malaysia, Indonesia sekarang pun kalah jauh tertinggal di belakang. Padahal dulu, sejak 1980-an, banyak warga Malaysia yang belajar di Indonesia. Kini, justru sebaliknya: warga Indonesia yang berbondong-bondong belajar di Malaysia.
Untuk mengukur masih rendahnya tingkat kepercayaan publik luar negeri terhadap citra dan reputasi dunia pendidikan Indonesia itu mudah sekali. Misalnya, kita bisa mengukur dari prosentase atau jumlah mahasiswa asing yang belajar di Indonesia.
Meskipun tentu saja ada mahasiswa/i asing yang belajar disini, tetapi jumlahnya masih sangat minim sekali.
Atau, seberapa besar penyerapan lembaga-lembaga internasional, khususnya institusi pendidikan, terhadap alumni PT di Tanah Air.
Sependek pengetahuan saya, nyaris tidak ada lembaga-lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang berkualitas di luar negeri, yang bersedia menerima lulusan perguruan tinggi di Indonesia sebagai tenaga pengajar atau peneliti.
Kalaupun ada warga negara Indonesia yang diterima sebagai dosen atau periset, hampir bisa dipastikan mereka adalah yang mendapat gelar master atau doktoral dari kampus berkualitas di negara-negara Barat, atau negara maju di Asia seperti Singapura atau Jepang.
Setiap tahun saya terlibat sebagai tim penyeleksi (search committee) berkas-berkas para kandidat, yang melamar sebagai profesor baru di departemen saya, yang fokus di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Salah satu yang dijadikan sebagai acuan utama untuk menyeleksi para aplikan adalah kampus tempat kandidat menerima gelar doktor. Jika ia memperoleh gelar doktor dari kampus di negara-negara berkembang, sudah pasti akan masuk kotak alias tidak lolos dalam proses seleksi tahap berikutnya.
Supaya bisa dipertimbangkan oleh komite penyeleksi, para pelamar harus mendapatkan gelar doktor dari kampus-kampus berkualitas, yang setidaknya masuk 100 besar kampus top di dunia (misalnya menurut QS World University Rankings).
Bukan itu saja, meskipun sudah mendapat gelar doktor dari kampus-kampus berkualitas dunia, jika si pelamar kemudian meniti karir pasca-doktoral di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ia juga dipastikan akan "masuk kotak".
Ini menunjukkan betapa suramnya citra kualitas kampus di Indonesia.
Namun, penting untuk dicatat, meskipun citra kualitas kampus di Indonesia itu buram, bukan berarti kualitas kampus di Indonesia itu benar-benar buram.
Meskipun realitasnya memang banyak yang buram, tetapi ada sejumlah kampus yang cukup baik dalam menjaga tradisi akademik.
***
Di kawasan Asia, hanya kampus-kampus di Singapura, Jepang, Hong Kong, atau Taiwan yang cukup terkenal reputasi akademiknya.
Belakangan menyusul RRC dan Korea Selatan juga cukup maju dan dipertimbangkan. Sebagian kecil kampus di India, belakangan juga masuk daftar sebagai kampus yang memiliki reputasi akademik cukup baik.
Sementara, negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim yang cukup baik reputasi dunia akademiknya adalah Turki dan Iran.
Belakangan negara-negara di kawasan Arab Teluk seperti Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab khususnya, berlomba-lomba meningkatkan mutu dunia pendidikan dengan mengadopsi secara maksimal sistem dan tradisi akademik Barat, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara.
Yang menarik adalah negeri jiran, Malaysia. Meskipun beberapa tahun lalu, negara ini sama sekali tidak dipertimbangkan dalam kancah dunia akademik internasional, bahkan jauh tertinggal dibanding Indonesia, tetapi belakangan ini sukses menarik perhatian masyarakat internasional.
Malaysia kini mampu menampilkan atau mencitrakan diri sebagai "negara maju" di bidang pendidikan perguruan tinggi.
Dalam hal pendidikan, negeri jiran ini cukup sukses menjadi "penengah" antara negara maju (khususnya negara-negara Barat) dan negara berkembang, karena berhasil menyajikan dunia pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau.
Akibatnya, banyak mahasiswa internasional yang menyerbu Malaysia. Sebab, dipandang bisa menjadi alternatif dan solusi terbaik mengatasi kebuntuan dunia akademik.
Di mata warga Arab dan Timur Tengah khususnya, reputasi akademik kampus-kampus Malaysia juga cukup baik. Buktinya banyak sekali mahasiswa Arab yang belajar di Malaysia.
Malaysia juga menjadi salah satu negara di Asia (selain Singapura, Jepang, China, dan Korea Selatan) yang menjadi target pengiriman mahasiswa Saudi melalui King Abdullah Scholarship Program.
Sejak 2005, program beasiswa ini sudah memberangkatkan ratusan ribu mahasiswa Saudi ke kampus-kampus top di luar negeri, khususnya negara-negara Barat, untuk kuliah di berbagai bidang keilmuan dari S1 sampai S3.
Tidak ada satupun mahasiswa yang dikirim ke Indonesia. Alasannya jelas, karena dunia kampus Indonesia masih dianggap belum bermutu. Para alumni program doktoral di Malaysia juga cukup dipertimbangkan di kampus-kampus di Timur Tengah, termasuk kawasan Arab Teluk.
***
Fenomena ini menjadi cambuk, kritik tajam dan pelajaran berharga bagi pemerintah, elit masyarakat, civitas akademika dan siapa saja yang mendambakan kemajuan pendidikan Indonesia di kemudian hari.
Masih ada banyak PR yang perlu dibenahi untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan kita, yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat internasional.
Saya percaya, jika melihat banyaknya kader-kader potensial, baik yang tergabung di "Indonesia Diaspora" maupun yang berada di Tanah Air, peluang dan masa depan membangun dunia pendidikan tinggi yang kredibel dan berkualitas internasional, masih sangat terbuka lebar.
Sayangnya, selama ini kader-kader atau putra-putri bangsa yang berkualitas itu belum "dikelola" dan dimanfaatkan secara optimal, baik oleh pemerintah maupun kampus itu sendiri, untuk ikut membantu membenahi wajah pendidikan tinggi di Indonesia.
Semoga bermanfaat.