Anies Sebut KAA Pertama di Indonesia Bukan Hanya Jasa Sukarno

Anies menyebut ada sosok lain yang berperan dalam KAA, yaitu Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 26 Okt 2017, 08:16 WIB
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengangkat tema sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) saat memberikan sambutan dalam acara jamuan makan malam Musyawarah Nasional Kedaulatan (Bangsa) Indonesia, Menyongsong Satu Abad Kemerdekaan.

Dalam acara yang dihelat di Balai Agung, Balai Kota Jakarta itu, dia sempat menyinggung nama Presiden pertama RI Sukarno. Anies mengatakan, dalam KAA, bukan hanya Proklamator RI tersebut yang memiliki peran.

"Kalau kita buka catatan, memang Konferensi Asia Afrika dipilih di Indonesia itu karena Sukarno, begitu? Tentu Sukarno menarik, Sukarno luar biasa. Tapi apa hanya Sukarno saat itu? Tidak," kata Anies di Balai Kota Jakarta, Rabu, 25 Oktober 2017 malam.

Dia juga menyebut ada sosok lain yang berperan, yaitu Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser.

"Ada Nehru, ada Gamal Abdul Nasser, itu di masa kendaraan susah. Jadi logikanya ketemu di tengah, kalau saya lihat tengahnya di mana? Di India, di Mesir. Lah kok ketemunya di ujung paling tenggara, yang bagi orang Afrika melampaui dua benua," tutur Anies.

Dia menyebut pesan yang ingin disampaikan dalam KAA, yaitu adanya inspirasi untuk membuat negara berdaulat.

"Mereka ingin melihat ini untuk inspirasi persatuan, inspirasi kemerdekaan, inspirasi jangka panjang," ujar Anies.

Sukarno dan Gagasan KAA

Jika melirik pada sejarah, KAA bukanlah peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba. Penelusuran Liputan6.com, ada proses panjang yang menghabiskan energi terkait dengan diplomasi dan lobi-lobi antarnegara yang digagas Presiden Sukarno agar Indonesia bisa menjadi tuan rumah KAA.

Semuanya berawal dari undangan yang datang dari PM Sri Lanka Sir John Kotelawala untuk membahas kemelut Indocina. Sukarno pun mengutus PM Ali Sastroamidjojo mewakili Indonesia dalam pertemuan yang disebut Sidang Panca Perdana Menteri. Turut hadir di Kolombo, Srilanka pada 28 April-2 Mei 1954 itu wakil dari Burma, India dan Pakistan.

Sukarno ketika itu sebenarnya menginginkan sebuah pertemuan yang lebih luas cakupannya. Tidak sekadar pertemuan lima orang perdana menteri, namun mencakup kerja sama regional Asia-Afrika. Pesan itulah yang dibawa PM Ali ke Kolombo disertai penekanan dari Sukarno, bahwa pergerakan nasional melawan penjajahan Indonesia sudah mendengungkan solidaritas Asia Afrika sejak puluhan lalu.

Tak mudah bagi PM Ali mengajukan usul itu dalam pertemuan di Kolombo. Momentum itu tiba pada sidang ke-6, ketika PM Ali mendapat kesempatan bicara. Dia pun langsung menusuk pada gagasan yang dititipkan Sukarno.

"Suatu Konferensi yang sama hakekatnya dengan Konferensi Kolombo sekarang, tapi lebih luas jangkauannya dengan tidak hanya memasukkan negara-negara Asia, tetapi juga negara-negara Afrika lainnya," ujar Ali di hadapan para pemimpin negara Asia itu, seperti dikutip dari Tempo.

Tak disangka, dukungan langsung datang dari PM India, Jawaharlal Nehru, salah satu tokoh berpengaruh di Asia. "Saya akan merasa puas apabila Konferensi Kolombo dapat menyetujui bahwa Indonesia akan mensponsori sendiri Konferensi," tutur Nehru.

Dengan dukungan Nehru pula, Sri Lanka setuju jika Konferensi Panca Perdana Menteri II dilaksanakan di Bogor pada Desember 1954. Konferensi yang dimulai 27 Desember 1954 itu memilih Istana Bogor sebagai tempat konferensi. Pemimpin yang hadir antara lain dari India, Burma, Thailand, Pakistan, dan Sri Lanka.

Sebagai penghormatan untuk Indonesia selaku negara penggagas, pertemuan di Bogor sepakat mengukuhkan Indonesia menjadi sponsor utama dan akan mengorganisasi seluruh jalannya Konferensi. Tak ada sama sekali pertimbangan jarak sebagai alasan pertemuan itu menunjuk Indonesia selaku tuan rumah.

Sukarno kemudian menetapkan bahwa KAA 1955 akan digelar di Kota Bandung, Jawa Barat. Dalam buku 50 Tahun Indonesia dan Konferensi Asia Afrika yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri, disebutkan bahwa Bandung dipilih sendiri oleh Presiden Sukarno.

"Beliau (Sukarno) ingin menegaskan kepada dunia bahwa dari Bandung-lah awal gerakan kemerdekaan yang dipimpinnya memulai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme," demikian kalimat yang tertulis di buku itu.

Perwakilan dari 29 negara Asia Afrika yang mencakup lebih dari setengah populasi dunia ketika itu hadir di Gedung Merdeka pada 18-24 April 1955. Dibuka oleh Sukarno, KAA menuai sukses dan melahirkan Dasa Sila Bandung serta menjadi cikal bakal Gerakan Non Blok di Yugoslavia pada 1961.


Cerita Nelson Mandela

Pada kesempatan itu, Anies juga menceritakan pengalaman saat ia masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika itu, ia dan Sudirman Said ditugaskan mendampingi tamu negara.

"Saya waktu itu ditugaskan dengan Pak Dirman mendampingi dan menerima tamu. Waktu itu mendapat tugas menjemput utusan dari Afrika Selatan. Menteri Luar Negerinya bercerita saat itu Nelson Mandela mau ke Indonesia," cerita Anies.

Namun, karena kondisi kesehatannya ketika itu, Mandela akhirnya mengutus tiga orang untuk mewakili dia ke Indonesia untuk menghadiri peringatan Konferensi Asia Afrika.

Uniknya, Anies menambahkan, utusan itu menyebut ada perintah khusus dari Mandela untuk mereka. Mereka diminta untuk mempelajari Indonesia.

"Pesannya, pelajari Indonesia, kenapa negeri yang luar biasa bineka itu bisa membentuk sebuah kesatuan dan mampu mengusir kolonialisme," pungkas Anies.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya