Liputan6.com, Jakarta Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan UU APBN 2018. Adapun asumsi makro yang disetujui adalah pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 3,5 persen, nilai tukar rupiah Rp 13.400 per dollar Amerika Serikat (AS), dan suku bunga SPN tiga bulan 5,2 persen.
Mengomentari asumsi makro 2018 tersebut, Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia, Ronny P Sasmita mengatakan, ada beberapa catatan, terutama soal pertumbuhan ekonomi.
Advertisement
Menurutnya, dari sisi asumsi makro, boleh jadi masih ada celah untuk menorehkan angka tersebut jika, misalnya, konsumsi rumah tangga tetap kuat, investasi tumbuh lebih cepat dan harga komoditas ekspor Indonesia di pasar global terus membaik.
"Tetapi dari perkembangan yang ada, terutama sejak awal tahun ini dan prediksi-prediksi makro sampai awal tahun depan, proyeksi saya untuk pertumbuhan ekonomi 2018 hanya ada di angka 5,2-5,3 persen saja," paparnya kepada Liputan6.com, Kamis (26/10/2017).
Melihat pada torehan angka tahun ini. BPS merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal pertama dan kedua 2017, angkanya turun, yakni hanya 5,01 persen. Dari perkembangan kontributor pertumbuhan ekonomi yang ada (tahun ke tahun), bisa disimpulkan bahwa Indonesia memang membutuhkan pertumbuhan investasi yang besar untuk meraih skenario pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Sekalipun mengantongi status layak investasi dari berbagai lembaga pemeringkat, menurut Ronny, namun ternyata tidak maksimal dimanfaatkan oleh pemerintah. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P ditargetkan sebesar 5,2 persen. Sedangkan untuk 2018, pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa berada pada kisaran 5,4 persen.
"Dan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di angka tersebut, setidaknya dibutuhkan pertumbuhan investasi 6 persen, sementara sampai saat ini pertumbuhan investasi masih di bawah 5 persen," tambah dia.
Tahun lalu saja, dipaparkannya, investasi hanya tumbuh 4,48 persen. Untuk bisa mencapai pertumbuhan investasi 6-8 persen tentu tidak tidak hanya berharap kepada APBN, tetapi juga harus diiringi dengan peran sektor swasta dan BUMN yang keduanya diharapkan terus meningkatkan belanja modal (capital expenditure), kontribusi dari kredit perbankan, pasar modal (capital market), penanaman modal dalam negeri (PMDN), dan penanaman modal asing (PMA).
Semula, dengan membaiknya prospek investasi, rasanya secara teoritik pemerintah mempunyai peluang untuk memperbaiki kinerja ekonomi nasional dengan torehan pertumbuhan yang konstektual dengan kebutuhan Indonesia.
"Namun dua kuartal di tahun 2017 sudah berlalu, angka pertumbuhan masih jauh dari harapan dan status layak investasi kemudian ibarat piagam yang hanya indah di dalam lemari kaca pajangan. Dan kondisi serupa, saya kira, akan menghantui di tahun depan, jika terobosan-terobosan pemerintah ternyata tidak tepat," tutupnya. (Yas)