Pilpres Kenya, Oposisi Serukan Warga Tinggal di Rumah dan Berdoa

Pilpres terbaru ini diboikot oleh kubu oposisi. Odinga dalam pidatonya menyerukan agar warga tidak datang ke TPS.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 26 Okt 2017, 19:00 WIB
Presiden Uhuru Kenyatta saat memberikan suaranya pada 26 Oktober 2017 (AP Photo/Ben Curtis)

Liputan6.com, Nairobi - Demonstrasi menandai dimulainya pemilu presiden Kenya. Pesta demokrasi ini sendiri diboikot oleh pihak oposisi.

Seperti dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (26/10/2017), pemungutan suara dibuka pada pukul 06.00 waktu setempat dan akan ditutup pada pukul 17.00. Lebih dari 19 juta pemilih terdaftar untuk memberikan suara mereka.

Pilpres di Kenya digelar ulang setelah Mahkamah Agung negara itu membatalkan hasil pilpres pada 8 Agustus lalu. Pemicunya adalah "penyimpangan dan ilegal" dalam pemungutan suara.

Presiden Uhuru Kenyatta (56) saat ini tengah mengejar masa jabatan kedua sekaligus terakhirnya. Dalam pilpres lalu, ia memenangi 54 persen suara.

Penantang utamanya, Raila Odinga (72), yang dalam pilpres lalu mendapat 45 persen suara, memboikot pemungutan suara teranyar. Sementara itu, demonstrasi yang dilancarkan kubu oposisi di Kibera dilaporkan berubah menjadi kekerasan. Pendukung Odinga disebut membakar ban dan polisi menembakkan gas air mata ke arah para pendemo.

Setidaknya satu tempat pemungutan suara di lingkungan itu ditutup akibat kericuhan.

"Tidak ada gunanya memberikan suara. Apa yang mereka lakukan ilegal. Mereka akan berbuat curang lagi. Ini palsu. Saya tidak akan membuang waktu saya dengan memilih," ujar Alfred Otieno kepada Al Jazeera.

Di Kisumu yang menjadi basis Odinga, sejumlah TPS buka. Namun, dikabarkan tidak ada tanda-tanda pemilih di sana.

"Jangan berpartisipasi dalam pemilu palsu. Yakinkan teman, tetangga, dan setiap orang untuk tidak ikutan," imbau Odinga di hadapan para pendukungnya di Nairobi pada Rabu kemarin.

"Kami sarankan warga Kenya yang menghargai demokrasi dan keadilan untuk melantukan doa atau tetap diam di rumah," imbuhnya.

Odinga menegaskan bahwa tuntutan pihaknya agar pemerintah mereformasi badan pemilu pasca-keputusan pengadilan tak kunjung dipenuhi.

Thabo Mbeki, mantan Presiden Afrika Selatan dan Kepala Misi Pemantau Uni Afrika di Kenya mengatakan bahwa para pengamat tetap mencermati perkembangan di negara itu. "Kami sudah mengunjungi dua TPS sejauh ini. Di dua tempat itu banyak orang mengantre untuk memilih. Kami perlu mendatangi dua TPS lagi untuk melihat bagaimana respons warga".

Kenya, yang terletak di Afrika Timur telah menyaksikan demonstrasi di setiap harinya sejak pengumuman hasil pilpres pada Agustus lalu. Sedikitnya 49 orang tewas dalam kekerasan politik sejak pemungutan suara tersebut berlangsung.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya