Liputan6.com, Jakarta - Peristiwa Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, telah menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Putusan kongres yang berisi tiga sila itu kemudian disebut Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda mengalami perjalanan sejarahnya sendiri. Termasuk, ketika mengalami perubahan-perubahan kata maupun makna.
Advertisement
Dalam buku Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia (2008) karya Keith Foulcher, pada masa kekuasaan Sukarno, Sumpah Pemuda digunakan untuk kepentingan politik ketika terjadi krisis.
Seperti pada 1957, berbagai pemberontakan daerah muncul di Sumatera dan Indonesia bagian timur. Untuk mengatasi hal itu, Sukarno memakai perayaan Sumpah Pemuda untuk menyerang simpatisan-simpatisan daerah.
Tahun-tahun setelah itu, hari Sumpah Pemuda dirayakan dalam skala besar. Di Jakarta, sekolah-sekolah menyelenggarakan upacara bendera dan pembacaan sumpah sebelum pelajaran dimulai.
Arak-arakan pemuda juga digelar di jalanan Ibu Kota pada malam harinya. Padahal sebelumnya, 28 Oktober diperingati sebagai hari lahirnya lagu Indonesia Raya.
"Seribu kali ia mengatakan bahwa ia setia kepada proklamasi kemerdekan, tetapi apabila sebaliknya menghidup-hidupkan kedaerahan dan kesukuan, maka berartilah bahwa ia tidak setia kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia," kata Sukarno pada malam peringatan Sumpah Pemuda, seperti dikutip Foulcher dari koran Merdeka, 1957.
Peringatan hari Sumpah Pemuda ke-30 pada 1958, muncul perubahan pada bunyi Sumpah Pemuda, yaitu pada sila ketiga yang harusnya berbunyi "Kami Putra-Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia" menjadi "Kami Putra-Putri Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia."
Selain untuk gerakan anti-kedaerahan, Sumpah Pemuda juga digunakan sebagai penolakan terhadap kebudayaan populer Barat pada 1959. Kemudian, pada 1961, Sumpah Pemuda juga menjadi alat dalam perebutan Irian Barat.
Dua tahun setelahnya, 1963, Sumpah Pemuda digunakan sebagai pengingat perjuangan melawan Malaysia.
Kendati, Foulcher menganggap perubahan kata-kata pada sila ketiga, adalah pengulangan belaka yang dihubungan dengan kesuksesan tujuan politik Sukarno.
Lain halnya dengan Sukarno, peringatan hari Sumpah Pemuda pada awal Orde Baru digunakan sebagai semangat memberantas G30S dan neokolonialisme.
"Dengan semangat Sumpah Pemuda kita tingkatkan disiplin dan kualitas Generasi Muda Indonesia, untuk memantapkan kerangka landasan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila," tulis Sekretariat Meneg, 1981, seperti dikutip Foulcher.
Penekanan ideologi Orde Baru terdapat pada kata-kata "disiplin", "stabilitas", dan "pembangunan". Lalu kata "memantapkan" menjadi inti dari formulasi Orde Baru tersebut. Kata-kata tersebut memakili sifat konservatif dan kejawaan yang menjadi ciri Orde Baru sejak 1988.
Propaganda Orde Baru kemudian muncul di media-media masa melalui ilustrasi. Orde Baru menggambarkan pemerintahan Sukarno telah menghianati Sumpah Pemuda, serta terjadi penyimpangan dalam politik Orde Lama.
Sejak awal periode Orde Baru, tulisan-tulisan ekploitatif tentang Sumpah Pemuda muncul setiap Oktober. Tulisan-tulisan tersebut sebagian besar memang hanya pengulangan dari nasionalisme Orde Baru.
Foulcher menyebut ada banyak versi Sumpah Pemuda, mulai dari yang asli putusan Kongres Pemuda II hingga versi rezim Soeharto. Hingga pada 1990-an, bentuk asli Sumpah Pemuda dipublikasikan dalam buku-buku teks pelajaran.
Sempat pula, pada peringatan Sumpah Pemuda yang ke-60, mahasiswa membuat pernyataan dan sablonan kaos yang berbunyi:
Kami mahasiswa Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Kami mahasiswa Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.
Kami mahasiswa Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa kebenaran.
Gantikan Hari Indonesia Raya
Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai hari nasional, awalnya bukan untuk Sumpah Pemuda, melainkan untuk lagu Indonesia Raya.
Alasannya, lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan melalui biola WR Supratman pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.
Pada 1952, diadakan peringatan triwindu hari Indonesia Raya, dan pada 1953 juga digelar peringatan ke-25 tahun.
Koran-koran juga memuat editorial perihal hari nasional lagu kebangsaan itu. Perayaan-perayaan juga diselenggarakan organisasi-organisasi pemuda di Jakarta.
Foulcher menuliskan, tahun-tahun berikutnya, 28 Oktober bukan lagi menjadi hari lahir lagu Indonesia Raya, melainkan hari Sumpah Pemuda seperti diberitakan media massa waktu itu.
Dalam perayaan-perayaan skala besar pada kujungan Sukarno dua hari di Solo pada 1955, dimasukan sesi pembacaan Sumpah Pemuda.
Pada pidato 28 Oktober 1958, Sukarno kembali menegaskan pentingnya makna Kongres Pemuda II dan hasil putusannya tersebut.
"Presiden menjatakan bahwa sudah selajaknya Sumpah Pemuda diperingati, bahkan djangan hanja setiap tahun, tetapi tiap2 hari, tiap2 jam. Tiap2 menit, tiap2 detik. Perisapan ideologis, jaitu Sumpah Pemuda, memerlukan penjelenggaraan praktis itu," tulis Harian Rakjat, 1956, seperti dikutip Foulcher. (Andri Setiawan)
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement