Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dinilai sudah sangat membutuhkan Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi, seiring dengan semakin berkembangnya tren big data. Saat ini banyak pihak mengumpulkan data dalam jumlah besar, baik untuk kepentingan pribadi, swasta atau negara.
"Urgensi UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia sangat besar karena hari ni ada sebuah situasi yang disebut sebagai mode sistem data intensif yaitu semua orang ingin mengumpulkan data dalam jumlah besar, baik dari kalangan pemerintah atau swasta," tutur peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, Wahyudi Djafar, dalam acara Dialog Nasional ID-IGF 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (27/10/2017).
Dijelaskan Wahyudi, Indonesia termasuk salah satu bagian kecil dari negara-negara yang belum memiliki aturan khusus untuk melindungi data pribadi warga negaranya, termasuk di wilayah Asia Tenggara. Padahal saat ini ada tren big data, yaitu pengumpulan data yang kian meningkat.
Big data memang memiliki tujuan untuk membuat sebuah industri dan negara menjadi lebih baik, tapi di sisi lain memunculkan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan data pribadi. Menurutnya, peluang penyalahgunaan data pribadi semakin besar dengan banyaknya aturan yang memberikan ruang bagi institusi pemerintah ataupun swasta untuk mengumpulkan dan membuka data-data pribadi.
"Karena itu kita memerlukan UU khusus untuk online dan offline seperti untuk kesehatan, catatan sipil, telekomunikasi, media dan berbagai hal lainnya. Dengan adanya UU ini, paling tidak bisa mengatur jenis-jenis data pribadi yang bisa dikumpulkan, data yang sensitif dan harus dilindungi, model pengumpulan data, proses sampai penghancuran data," tuturnya.
Baca Juga
Advertisement
Selain UU khusus, pemerintah juga diimbau untuk membentuk sebuah lembaga khusus untuk mengawasi semua proses pengumpulan data tersebut. "Jadi nanti lembaga itu yang mengawasi semua proses tersebut dan jika ada yang merasa datanya disalahgunakan, mereka bisa melaporkannya ke lembaga tersebut," ia menambahkan.
Berdasarkan studi yang dilakukan ELSAM, sedikitnya ada 30 UU di Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan perlindungan data pribadi. Sayangnya, semua UU tersebut overlapping (tumpang tindih) satu sama lain, misalnya dari tujuan pengolahan data, notifikasi, tujuan pembukaan data, durasi pengumpulan dan pembukaan data, penghancuran data, pemberian izin pembukaan data, sanksi, dan pemulihannya.
"Semua orang mengumpulkan data untuk berbagai kepentingan seperti untuk industri dan pengambilan kebijakan. Permasalahannya, di Indonesia itu rentan sekali perlindungan datanya karena ada overlapping tersebut," jelas Wahyudi.
Ia pun merujuk pada proyek e-KTP yang disebut sebagai salah satu bentuk kerentanan perlindungan data pribadi. Menurutnya tidak ada satu pun klausul dalam Peraturan Presiden No 67/2011 yang menjadi rujukan proyek tersebut, mengatur mengenai mekanisme perlindungan data pribadi warga negara yang telah dikumpulkan.
"Kita tidak pernah tahu, data-data kita yang direkam oleh pemerintah, seperti domisili, retina, dan sidik jari digunakan untuk apa saja dan bagaimana model pengamanannya. Ini termasuk salah satu faktor pendorong untuk urgensi UU ini," ungkapnya.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), saat ini tengah menyiapkan RRU Perlindungan Data Pribadi. Proses persiapannya telah memasuki tahap harmonisasi di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. Rencananya, UU ini akan didorong oleh pemerintah untuk menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018.
UU ini nantinya diharapkan dapat menjadi standar perlindungan data pribadi secara umum, baik yang diproses sebagian atau keseluruhan dengan cara elektronik maupun manual. Masing-masing sektor dapat menerapkan Perlindungan Data Pribadi dalam melakukan pemrosesan data pribadi sesuai karakteristik sektor yang bersangkutan.
(Din/Cas)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: