Ini Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Sejahterakan Petani

Ksejahteraan petani di Indonesia dinilai belum terpenuhi.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 29 Okt 2017, 06:24 WIB
Dua orang buruh tani penggarap menanam benih padi milik warga di Bubulak, Bogor, Jabar. Buruh tani yang mengelola sawah milik warga tersebut diupah dengan 20% padi dari hasil saat panen nanti.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta Ksejahteraan petani di Indonesia dinilai belum terpenuhi. Pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk menyejahterakan petani. Selain kestabilan harga pangan, kesejahteraan petani juga menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan ekonomi

Berdasarkan data pada tahun 2014, sebanyak 54,8 juta orang bekerja di sektor pertanian. Jumlah ini sama dengan 34 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia. Namun 34,3 juta di antaranya tergolong miskin atau rentan. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan target pemerintah yang ingin mencapai swasembada pangan. 

Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, keadaan sulit ini sangat terkait dengan berbagai tantangan yang dihadapi para petani. Beberapa tantangan yang dihadapi para petani antara lain adalah terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan, menurunnya jumlah rumah tangga yang memiliki lahan pribadi dan semakin banyak petani yang menjadi buruh tani tanpa lahan.

“Belum lagi gencarnya pembangunan infrastruktur yang menggerus lahan-lahan pertanian dan rendahnya harga beli komoditas pangan yang ditanam petani,” ungkap Hizkia dalam keterangan resminya ditulis Minggu (29/10/2017).

Berdasarkan penelitian dari CIPS, di beberapa daerah seperti Indramayu, Jawa Barat, Kebumen dan Cilacap di Jawa Tengah, kebanyakan petani menilai program bantuan yang diberikan pemerintah kurang efektif untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. Contohnya saja subsidi benih, petani menilai program ini kurang efektif untuk membantu mereka karena benih subsidi berisiko berkualitas buruk. Benih subsidi juga memiliki ketidakpastian periode distribusi. Oleh karena itu, lanjutnya, petani lebih memilih untuk menggunakan benih non-subsidi.

“Pemerintah sebaiknya mengalokasikan ulang anggaran untuk program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sejahtra (KIS) dan kartu Indonesia Pintar (KIP). Besar anggaran untuk benih, pupuk dan beras subsidi senilai Rp 52 triliun. Jumlah ini adalah dua kali lipat dari anggaran untuk ketiga program tadi,” ujar Hizkia.

Pemerintah juga dapat menerapkan program Asuransi Pertanian untuk Petani Padi (AUTP). Asuransi ini bertujuan untuk mengompensasi kehilangan pendapatan petani akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir, kekeringan, hama maupun penyaikit tanaman.

Dalam rembuk nasional pangan yang baru-baru ini digelar, kesejahteraan petani juga menjadi isu yang diangkat. Forum ini juga menyoroti tata kelola pangan, khususnya soal Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya