Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dan akademisi berupaya mengembangkan mobil listrik di Indonesia. Tujuannya untuk mengurangi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan menekan pencemaran udara akibat emisi gas buang. Apa keuntungan dan kerugian memiliki mobil listrik?
Tim Mobil Listrik Nasional Universitas Indonesia (UI), Ing Mohamad Adhitya mengungkapkan, penggunaan kendaraan, baik mobil maupun motor listrik sudah menjadi tren di dunia saat ini. Ada dua alasan yang mendasari sejumlah negara beramai-ramai ke kendaraan listrik.
"Pertama, pemanasan global yang terjadi akibat emisi gas buang dan kedua, kelangkaan sumber daya alam, seperti minyak bumi. Kita menghadapi krisis karena harga minyak pernah sangat mahal. Industri otomotif dunia mengatasi permasalahan tersebut dengan mobil listrik," kata dia dalam diskusi Mobil Listrik di Gandaria City, Jakarta, Minggu (29/10/2017).
Baca Juga
Advertisement
Adhitya menyebut beberapa kelebihan kendaraan listrik. Pertama, emisi nol karena tidak memiliki knalpot sehingga tidak menghasilkan gas buang. Kedua, biaya operasi yang rendah mengingat konstruksi kendaraan listrik, khususnya motor listrik sangat sederhana dibandingkan motor bakar alias motor berbahan bakar minyak.
"Motor listrik 1.000 kali lebih mudah dibuat dibanding motor bakar atau konvensional," ujar dia.
Ketiga, efisien. Menurut Adhitya, setiap energi yang timbul di kendaraan listrik, misalnya pada saat pengereman, energi dari getaran, semua akan ditangkap dan tersimpan ke dalam baterai sehingga menambah daya bagi kendaraan listrik. Hal ini berbeda dengan kendaraan non listrik, di mana energi yang timbul justru terbuang percuma.
"Keuntungan keempat, listrik mudah ditransmisikan dan listrik mudah dihasilkan karena dapat dengan mudah dari generator. Beda dengan BBM yang harus lewat pengeboran dan eksploitasi minyak di perut bumi," jelas dia.
"Jadi kesimpulannya, kendaraan listrik sangat mudah dikuasai bangsa Indonesia dibandingkan kendaraan konvensional," Adhitya menambahkan.
Sedangkan kerugian dari kendaraan listrik, Ia menuturkan, pertama, lama waktu pengisian baterai. Dia menuturkan, ini adalah kendala utama dari mobil dan motor listrik. "Tapi sudah ada solusinya, yakni menggunakan strategi baterai swap. Jadi baterai yang sudah sowak dilepas, diganti yang baru," ucap Adhitya.
Kedua, daur ulang baterai. Kata dia, setelah beberapa lama pemakaian, kualitas baterai akan menurun dan harus segera diganti. Ketiga, usia baterai terbatas; keempat, pembangkit listrik tidak ramah lingkungan, dan terakhir, terbatasnya jarak tempuh kendaraan jika menggunakan mobil dan motor listrik.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RI Perlu Produksi Mobil Listrik
Pemerintah tengah berupaya menggenjot pengembangan mobil maupun motor listrik di Indonesia. Negara ini harus segera memproduksi kendaraan listrik untuk mengatasi masalah polusi dan pemborosan yang terjadi akibat penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan nilai mencapai Rp 150 triliun per tahun.
Tim Mobil Listrik Nasional Universitas Indonesia (UI), Ing Mohamad Adhitya mengungkapkan, penggunaan kendaraan, baik motor maupun mobil listrik sudah menjadi tren di dunia saat ini. Ada dua alasan yang mendasari sejumlah negara beramai-ramai ke kendaraan listrik.
"Pertama, pemanasan global yang terjadi akibat emisi gas buang dan kedua, kelangkaan sumber daya alam, seperti minyak bumi. Kita menghadapi krisis karena harga minyak pernah sangat mahal. Industri otomotif dunia mengatasi permasalahan tersebut dengan mobil listrik," kata dia dalam diskusi Mobil Listrik di Gandaria City, Jakarta, Minggu 29 Oktober 2017.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Teknologi dan Energi, Prasetyo Boeditjahjono menilai, dalam Nawa Cita, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin menciptakan kedaulatan energi. Salah satunya memanfaatkan energi listrik untuk transportasi.
"Tidak ada pilihan lain, kecuali segera beralih ke energi listrik. Pencemaran udara sudah berat. Lihat saja macet di mana-mana, racun semua itu karena dari hasil emisi gas buang bahan bakar fosil," ujar Prasetyo.
Lebih jauh dia menjelaskan, pencemaran udara menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama di perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.
Alasan lain, lanjutnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaorkan seperdelapan kematian umat di seluruh dunia atau sekitar 8 juta jiwa per tahun pada 2014. Hal ini diakibatkan karena terpapar pencemaran udara. Sebanyak 68 ribu jiwa meninggal di Indonesia.
Datanya menyebut, 57,8 persen warga di Jakarta menderita sakit atau penyakit akibat terpapar pencemaran udara sehingga harus membayar biaya pengobatan mencapai Rp 38,5 triliun.
"Kebijakan kita penerapan standar emisi Euro 4 yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi dengan benefit Rp 3,97 triliun di 2030. Regulasi lainnya adalah kendaraan listrik," tutur Prasetyo.
Advertisement