Puisinya Sering Jadi Gombalan Anak Milenial, Ini Kata Sapardi

Sapardi Djoko Damono merupakan sastrawan dan penyair Indonesia yang kerap mencipta puisi-puisi bertemakan cinta.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 31 Okt 2017, 10:53 WIB
Preskon film Hujan Bulan Juni (Nurwahyunan/bintang.com)

Liputan6.com, Jakarta Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu…

Mungkin 10 tahun yang lalu puisi karya Sapardi Djoko Damono ini hanya mentok di meja mahasiswa sastra. Seiring perkembangan zaman, puisi tersebut kini menjelma menjadi “ayat-ayat cinta” yang kerap dipakai anak-anak milenial untuk menggombali kekasih. Diksinya yang sederhana sehingga maknanya relatif mudah dimengerti membuat puisi ini menjadi sangat “hits” di kalangan anak muda.

Musikalisasi yang diproduksi Ari-Reda dalam "Dua Ibu" belakangan juga turut memberikan warna lain puisi-puisi cinta Sapardi Djoko Damono sehingga mudah “nempel” di hati anak muda saat ini.

Maraknya gombalan anak milenial dengan memakai puisi "Aku Ingin" ditanggapi santai oleh sang penyair Sapardi Djoko Damono. Saat dihubungi Liputan6.com beberapa waktu lalu, Sapardi mengatakan, bukankah saat ini banyak orang bahkan menggunakan kutipan ayat-ayat kitab suci untuk menggombali orang? Karya sastra, khususnya puisi tidak perlu diberi jarak dengan orang-orang. Puisi, menurutnya, adalah hasil karya manusia yang biasa saja, sama dengan yang dihasilkan orang-orang kreatif lainnya.

“Anggapan puisi sebagai suatu yang adiluhung bagi saya merupakan anggapan yang mengerikan sekali. Anggapan yang penuh kata-kata kosong begitu bagi saya malah merendahkan atau bahkan meledek puisi,” kata Sapardi.

Lebih jauh Sapardi mengungkapkan, pada dasarnya, anak-anak sejak lama menyukai puisi, termasuk membaca dan menulis puisi. Yang mungkin malah menjadikan puisi sebagai barang “asing” bagi mereka justru karena puisi dijelaskan dengan teori yang sama sekali tidak diperlukan.

Terkait dengan puisi "Hujan Bulan Juni" karyanya yang diadaptasi menjadi sebuah film, Sapardi mengatakan, tidak pernah ada kelas-kelas dalam kesenian kalau kita tidak menakarnya dengan uang. Bagi Sapardi, puisi yang bagus sama saja “kelasnya" dengan film atau lukisan atau lagu yang bagus. Semua yang bagus itu akan bertahan melampaui waktu dan tempat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya