Liputan6.com, Jakarta Perjuangan pria bernama Bani Risset patut diacungi jempol. Pria berusia 38 tahun ini harus mengalami masa kelam akibat narkoba suntik pada usia muda. Tak hanya itu, selepas rehabilitasi, pria ini juga harus berjuang melawan hepatitis C selama 10 tahun.
Bani pertama kali menggunakan narkoba suntik pada 1993. Saat itu, dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Awalnya dia mengaku tergiur menggunakan narkoba akibat pergaulan. Selama 10 tahun lamanya, dia menggunakan narkoba suntik. Pada 2003 dia memutuskan untuk berhenti dari barang haram tersebut.
Advertisement
"Saya berhenti total sampai sekarang, saya cape karena sering berurusan dengan kepolisian. Saya juga harus direhabilitasi dan masuk pesantren," ucap Bani kepada Health Liputan6.com saat ditemui di kantor Indonesian AIDS Coalition (IAC) pada Senin (30/10/2017) di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Setelah memutuskan berhenti, Bani menjalani rehabilitasi di Bandung selama 18 bulan. "Walaupun sulit untuk berhenti, tapi akhirnya saya masuk rehab di Bandung. Waktu itu harusnya cuma 12 bulan, tapi karena saya takut pake narkoba lagi di luar sana akhirnya saya nambah jadi 18 bulan," ucap Bani.
Setelah keluar dari rehabilitasi, Bani akhirnya kembali ke kehidupan yang sesungguhnya, dia kembali bekerja. Namun, ternyata perjuangan belum berhenti karena dia harus melawan hepatitis C.
Saksikan video menarik berikut :
Terdiagnosis hepatitis C
Pada 2004, Bani kembali bekerja dan aktif bersosialisasi. Saat itu, dirinya mulai mendapatkan informasi terkait narkoba. Selain itu, dia juga mengetahui penyakit hepatitis.
"Saya aktif di sosial, saya suka ngobrol soal narkoba. lalu saya dengar tentang hepatitis C. Akhirnya saya ikut pemeriksaan hepatitis pake voucher gratis," kata pria berkacamata ini.
Setelah menjalani pemeriksaan, Bani mendapatkan bahwa dirinya positif terkena hepatitis C. "Setelah tes dan hasilnya positif, ya udah saya diemin saja karena yang saya tahu obatnya mahal banget dan keefektifannya masih 40 persen. Saya pikir setiap manusia juga bakal meninggal," ucap dia pasrah.
Setelah dua tahun tidak mendapatkan pengobatan, akhirnya Bani ditawari oleh sebuah perusahaan obat di Jakarta untuk menjalani pengobatan gratis.
"Waktu itu saya menggunakan terapi obat pegylated interferon. Ada sebelas orang yang menjalani program tersebut. Saya mendapatkan suntikan seminggu sekali dan minum obat ribavirin setiap hari," ucap dia.
Advertisement
Pengobatan pertama gagal
Saat menjalani terapi obat tersebut, Bani mengatakan bahwa dirinya bukannya sembuh, justru mengalami demam tinggi dan sering meracau.
"Dalam dua bulan saya semakin depresi, rambut saya rontok dan botak. Semakin ke sini, saya enggak mampu berangkat kerja sendiri kalau habis disuntik," ucap dia.
Sempat ingin berhenti dari program pengobatan tersebut, tapi dirinya baru menyadari isi kontrak yang ternyata dia harus mengikuti program selama 12 bulan. Jika tidak, dia harus mengganti rugi kepada pihak perusahaan obat.
"Seharusnya saya menjalani 12 bulan, tapi pada bulan keempat saya akhirnya diberhentikan karena sudah enggak sanggup," lanjutnya.
Kembali gagal
Setelah gagal menjalani pengobatan, akhirnya saya kembali mendapat pengobatan pada 2015.
"Saat itu ada kampanye obat hepatitis C yang lebih baik dan murah yaitu sofosbuvir dan ribavirin. Saya coba minum selama enam bulan. Tapi tetep saja setelah minum obat tersebut, saya mengalami depresi lagi," jelas dia.
Bani mengaku, akibat depresi yang dirasakan saat menjalani pengobatan, dia harus berkonsultasi dengan psikiater dan itu memakan banyak biaya.
Perjuangan Bani akhirnya berhasil
Setelah bosan dengan pengobatan, Bani bertemu dengan teman-teman dari Indonesia AIDS Coalition (IAC). Dari IAC, dia kembali ditawari obat hepatitis C. Namun, karena sudah bosan, dia menolak untuk meminum obat tersebut.
"Saya sudah cape minum obat, tapi dokter bilang saya pasti sembuh," kenang Bani.
Akhirnya, dia memutuskan untuk minum obat tersebut selama enam bulan. Kali ini, Bani meminum kombinasi obat sofosbuvir dan daclatasvir. Setelah menjalani pengobatan ketiga, Bani diajak mengikuti tes pada Agustus 2017, tapi dia enggan melakukannya karena berpikir hasilnya akan kembali positif. Namun, berkat dukungan banyak pihak, dia akhirnya kembali melakukan tes.
"Setelah minum selama enam bulan, saya ikut tes yang diadakan Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI). Setelah dites, ternyata hasilnya negatif. Artinya saya berhasil sembuh," ucap Bani yang sempat enggan melakukan tes.
Bagi Bani, berhasil sembuh dari narkoba dan hepatitis C adalah anugerah terbesar dalam hidup. Dia merasa mendapat kesempatan kedua dan hal ini membuat dia memilih menjalani pola hidup sehat.
Advertisement