Liputan6.com, Trieste - Pernah merasa nyaman ketika menghirup wangi kue yang baru saja dipanggang atau merasa ceria ketika diterpa wangi bunga-bunga bermekaran di musim semi?
Itu bukan sekadar perasaan, karena ternyata hidung sebagai indra penciuman memiliki kaitan kuat dengan emosi seseorang.
Menurut Marilena Aiello, seorang peneliti ilmu syaraf di International School for Advanced Studies di Italia, alasannya adalah "Ada bagian yang saling tindih di daerah-daerah di otak yang berurusan dengan persepsi olfaktori dan bagian yang memproses emosi."
Lalu apa yang terjadi dengan indra penciuman jika orang sedang bermasalah dengan emosi?
Dikutip dari Live Science pada Selasa (31/10/2017), penelitian oleh Aiello dan rekan-rekannya menelaah caranya beberapa bebauan mempengaruhi orang yang memiliki kondisi psikologis yang dikenal dengan alexithymia, yaitu orang yang kesulitan menyatakan emosi-emosinya.
Menurut penelitian tersebut, dalam bahasa Yunani alexithymia berarti "perasaan-perasaan tak terkatakan." Diperkirakan sekitar 1 di antara 10 orang memiliki kondisi tersebut.
Orang pengidap alexithymia memiliki kesulitan memproses dan menghubungkan emosi-emosi berbeda, semisal keceriaan, marah, atau jijik.
Baca Juga
Advertisement
Karena telah diketahui adanya kaitan antara bau dan emosi, para peneliti ingin mengamati apakah alexithymia berdampak pada caranya orang menanggapi bau-bau yang berbeda.
Untuk melakukan itu, para peneliti membagi kelompok 62 orang dalam 3 kelompok menurut tingkat keparahan alexithymia (tinggi, menengah, rendah).
Para peserta dipaparkan beberapa jenis bebauan, mulai dari bau tak sedap hingga bau alamiah udara bersih, dan kemudian diminta mengidentifikasi bebauan tersebut.
Selain itu, para peneliti juga mengevaluasi ambang deteksi bebauan yang berbeda di kalangan peserta.
Kemudian para peserta diminta menilai 3 "kategori" bau yang berbeda, yaitu tidak sedap, netral, dan udara bersih (ketiadaan bau). Para peserta juga menilai intensitas, tingkat kenikmatan, dan tingkat familiar masing-masing bau.
Selama pengujian, para peniliti mengukur denyut jantung dan tanggapan daya hantar peserta dengan maksud mengukur tingkat rangsangan pada seseorang. Tujuannya adalah untuk mengukur reaksi fisik peserta terhadap bebauan.
Para peserta juga diminta melengkapi kuesioner yang mengukur kesadaran mereka tentang bebauan di lingkungan dan kemampuan membayangkan bebauan yang berbeda.
Hasilnya...
Para peneliti mendapati bahwa orang-orang dengan alexithymia menengah hingga tinggi menunjukkan tanggapan fisik yang lebih besar terhadap bebauan.
Jantung mereka berdebar lebih cepat dan daya hantar listrik pada kulit bertambah dibandingkan dengan orang-orang dengan alexithymia kadar rendah.
Temuan itu bertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa orang-orang dengan alexithymia seringkali hanya sedikit memberi tanggapan atau bahkan tidak ada tanggapan sama sekali.
Menurut para peneliti, "Hasil yang diraih menunjukkan bahwa salah satu karakteristik alexithymia adalah pergeseran tanggapan fisiologis terhadap rangsangan olfaktori."
"Berlawanan dengan apa yang diduga orang, penelitian ini mengungkapkan caranya reaksi fisiologis pada orang-orang pengidap alexithymia terhadap emosi-emosi yang dipancing dengan bebauan justru lebih intens, bukan melemah."
Selain itu, temuan penelitian mengungkapkan bahwa para peserta dengan alexithymia bersifat kognitif bereaksi secara berbeda dibandingkan dengan mereka yang mengidap alexithymia bersifat afektif.
Alexithymia bersifat kognitif mengganggu kemampuan untuk mengidentifikasi, menyatakan, dan memilah emosi. Sedangkan alexithymia bersifat afektif menekan sensasi, imajinasi, dan kreativitas seseorang.
Menurut para peneliti, "Kami menyimpulkan bahwa alexithymia dicirikan dengan reaksi fisiologis terhadap rangsangan olfaktori."
"Selanjutya, kami menekankan pentingnya menelaah komponen-komponen berbeda dalam alexithymia karena berdampak terhadap pemrosesan rangsangan emosional secara berbeda."
Advertisement