Liputan6.com, Jakarta Hukuman mati menjadi senjata mematikan pemerintah Indonesia untuk perangi narkoba. Kendati demikian, hukuman itu belum memberikan efek jera terhadap para pelaku atau penyelundup narkoba. Pasalnya, masih ada beberapa orang yang masih nekat selundupkan barang haram tersebut.
Ancaman vonis mati yang ada dalam undang-undang di Indonesia dianggap belum cukup membuat para mafia narkoba takut.
Advertisement
Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulistiandriatmoko mengatakan bahwa para pelaku atau mafia itu menggunakan kekuatan financial agar leluasa menggerakan jaringan narkoba bahkan di dalam lapas sekalipun.
“Mereka—pelaku narkoba—akan terus melancarkan kekuatan finansialnya mulai dari penangkapan, penyidikan, jaksa, pengadilan bahkan sampai di lapas sekalipun. Terpenting, agar mereka bisa terus mengerakan jaringanya walaupun di dalam jeruji besi sekalipun,” ujar Sulistiandriatmoko saat ditemui Liputan6.com, Kamis (26/10/2017).
Ia melanjutkan, menurut sumber analisis BNN, salah satu jaringan sindikat narkoba mempunyai nilai transaksi mencapai 17 Triliun selama setahun.
“Nilai transaksi itu sangat fantastis, maka dari itu mereka mempunyai kekuatan financial untuk mempengaruhi siapapun,” tutur Sulistiandriatmoko.
Sulistiandriatmoko memberikan contoh kasus, salah satunya tahanan Nusakambangan yang sudah divonis hukuman mati masih bisa menggerakan jaringan narkoba internasionalnya untuk mengimpor 1,2 juta pil ekstasi dari Belanda. Selain itu, Fredy Budiman mampu mengerakan jaringannya walaupun sudah ditahan dan divonis mati.
“Berkaca dari kasus sebelumnya, kita harus mengubah sistem dari awal agar pergerakan mereka di lapas tidak bisa dikendalikan lagi,” imbuh Sulistiandriatmoko.
Mengenai hukuman mati, lanjut Sulistiandriatmoko, bahwa pemerintah harus konsisten dengan hukuman itu. Perlu diketahui, pada 2014, 12 ribu jiwa meninggal dunia akibat narkoba. Setidaknya 30-40 meninggal dunia setiap harinya.
“Hukuman mati itu harus konsisten. Bayangkan dengan angka jiwa yang meninggal itu berarti pembunuhan massal,” imbuh Sulistiandriatmoko.
(*)