Liputan6.com, Jakarta Bocah perempuan berusia 10 tahun ini bertubuh bongsor, perilakunya tergolong liar untuk anak seusianya. Begitu memasuki ruang terapi cuma dua menit dia duduk manis, kakinya segera naik ke sofa, duduk mengangkang sambil memerosotkan tubuh dan menggaruk-garuk selangkangannya.
Tak lama kemudian dia berdiri menghampiri meja saya, mengambil dan memeriksa beberapa benda di atas meja tanpa permisi. Ketika ditegur ibunya, dia pindah ke kursi terapi lalu memainkan tombol reclining sambil jumpalitan. Benar-benar membuat khawatir.
Advertisement
Anak ini dibawa ibunya bertemu saya karena kepalanya botak. Lho? Ya, akibat setiap hari terus-menerus dia cabuti. “Sakit,” katanya menjawab pertanyaan saya bagaimana rasanya rambut dicabut. Kalau sakit, mengapa dicabut? “Kata Mama rambutku ada yang keriting, jadi jelek, terus sama Mama dicabuti.” Selanjutnya dia sendiri yang mencabuti sampai botak, terutama pada saat di sekolah.
Bukan hanya itu. Bunga, sebutlah begitu namanya, juga tidak bergaul dengan teman sekelasnya. Beberapa kali dia mencoba bergabung dengan teman-teman perempuan, tapi tidak lama kemudian satu per satu menyingkir tinggal Bunga sendirian. Karena itu dia cenderung menyendiri, hanya sesekali bermain kejar-kejaran dengan teman laki-laki, atau pergi bermain dengan anak-anak TK yang ada di bagian depan sekolah.
“Dia itu ‘kan aneh, jadi tidak ada yang mau berteman,” ujar ibunya. Apa yang dimaksud dengan aneh? Menurut ibunya, “Karena Bunga tomboy.” Dia tidak suka mengikuti pembicaraan teman-teman perempuannya.
“Ada satu lagi masalahnya, IQ Bunga turun. Dulu 110, sekarang tinggal 82,” kata si ibu tentang puterinya yang duduk di kelas 5 SD itu. Lantas bagaimana hasil belajarnya? “Nilainya sedang saja, tidak termasuk rangking tinggi dan ada mata mata pelajaran yang dia tidak suka,” ujar ibunya.
Tanda Patuh
Mendengar semua cerita tentang Bunga, saya menduga bahwa semua hal itu terjadi karena dia sekadar tunduk patuh terhadap ibunya. Artinya, bukan Bunga yang bermasalah sebenarnya, melainkan sang ibu.
Pertama mengenai rambut. Ternyata benar, si ibulah yang memulai kebiasaan mencabuti rambut. Saat melihat ada sehelai rambut agak tebal dan keriting di ubun-ubun, si ibu berkata, “Sini nak, Mama cabuti rambutmu. Ada yang keriting, jelek.” Di mata si ibu seperti rambut kemaluan, sehingga harus dicabut. Satu terlihat dan dicabut, ia lalu mencari rambut sejenis lainnya.
Sejak mendengar kata “keriting” dan “jelek” dari sang ibu, Bunga yang tidak mau terlihat jelek itu menjadi terobsesi untuk mencabuti rambutnya. Hal itu dilakukan terutama di sekolah pada jam istirahat, ketika dia menyadari dirinya sendirian tanpa teman. Bunga sadar dan malu kepalanya menjadi botak, “Tapi kata Mama jelek kalau rambutku ada yang keriting,” ungkapnya berkali-kali.
Perilaku “aneh” yang ditunjukkan Bunga ternyata juga berawal dari kata-kata sang ibu sendiri. “Saya memang sering bilang ‘kamu ini aneh’, karena tidak suka tampil seperti anak perempuan, sukanya pakai celana dan kaos,” ungkap sang ibu. “Apakah ibu juga sering berkata, kalau Bunga aneh nanti teman-teman tidak suka, karena terlihat berbeda?” Jawabnya adalah “Iya, saya sering bilang begitu.”
Bahkan ibu tiga anak ini menjelaskan bahwa, “Sebenarnya saya juga sering bilang dia itu bodoh, bego, tolol. Karena saya tidak sabar membantu dia belajar. Kalau adiknya gampang sekali diajari.” Dan terjadilah seperti perkataan ibunya; ibarat sabda pandita ratu apa yang disabdakan sang ibu menjadi perintah bagi bawah sadar anak.
Singkat kata, Bunga tumbuh menjadi anak yang aneh, bodoh/bego/tolol, merasa rambutnya keriting dan jelek sehingga harus dicabuti (padahal rambutnya ikal), semata karena tunduk dan patuh terhadap ucapan ibunya. Semua kata-kata ibunya dia perhatikan, dia percaya, dia ikuti dan wujudkan.
Tentu Bunga tidak benar-benar bodoh/bego/tolol, nyatanya dia bisa naik kelas 5 dan nilainya melewati rata-rata kelas. Dia bukan yang terbodoh di kelas. Apakah anak dengan tingkat kecerdasan intelektual di level 83 mampu mengikuti pelajaran di sekolah normal? Tentu tidak. Namun karena mendengarkan dan mengikuti kata-kata ibu, “Kamu bodoh/bego/tolol” maka pikiran bawah sadar menampilkan diri seperti yang diperintahkan ibu.
Ini persis dengan kasus lain, remaja SMA yang hasil tes IQ-nya terus merosot. Saat SD IQ-nya 130 tapi kelas 3 SMP turun jadi 100-an dan kelas 2 SMA turun tinggal 82, mengikuti tingkat kemalasan yang semakin hari semakin parah dia tunjukkan; mengikuti ucapan berulang-ulang orangtuanya: “Kamu pemalas!”. Maka ketika remaja ini bertanya, “Bu, masak aku tergolong idiot?” dengan tegas saya menjawab, “Tidak!” Dia bisa berdiskusi asyik mengenai musik dan bisnis pertunjukan.
Jika demikian, apa yang bisa dilakukan? Dalam hal ini ibu harus memprogram ulang apa yang sudah tertanam di pikiran bawah sadar Bunga.
Advertisement
Pelajaran yang bisa dipetik
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman Bunga dan ibunya?
1. Anak-anak usia 8 tahun ke bawah berpikir hanya menggunakan pikiran bawah sadar. Karena faktor kritis (critical factor) belum cukup kuat, maka program dari figur-figur otoritas sangat mudah masuk. Selama bertahun-tahun sejak masih kecil Bunga sudah mendapat program negatif dari sang ibu, bahwa dia aneh dan bodoh/bego/tolol.
2. Suatu program tertanam di pikiran bawah sadar melalui cara:
a. Disampaikan oleh figur otoritas,
b. Disampaikan secara berulang-ulang (repetisi),
c. Ide dengan muatan emosi tinggi,
d. Identifikasi kelompok/keluarga,
e. Rileksasi.
Ibu adalah figur otoritas bagi Bunga, maka pendapat dan label atau julukan negatif dari sang ibu, apalagi diulang-ulang, telah masuk ke pikiran bawah sadar dengan sangat baik sebagai program.
3. Orangtua sebaiknya mengendalikan emosi secara baik di hadapan anak, dan secara selektif memilih kata-kata, sebutan atau label untuk anak. Mulutmu harimaumu, ucapanmu adalah doamu. Ibu Bunga tanpa sadar telah menempelkan pesan-pesan negatif di hati atau pikiran bawah sadar puterinya itu.