HEADLINE: UMP Jakarta Naik Jadi Rp 3,6 Juta, Buruh Masih Protes?

Kenaikan UMP 2018 di Jakarta diyakini akan meningkatkan kesejahteraan buruh, tapi tidak memberatkan pengusaha.

oleh Arthur GideonAchmad Dwi AfriyadiSeptian DenyVina A Muliana diperbarui 02 Nov 2017, 00:01 WIB
Selain kenaikan upah sebesar 50%, para buruh juga menentang instruksi SBY tentang upah (Liputan6.com/ Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah melalui rapat yang cukup panjang, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akhirnya mengumumkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2018 di angka Rp 3,64 juta. Angka ini naik 8,7 persen jika dibandingkan dengan UMP 2017 yang tercatat Rp 3,35 juta.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjelaskan, penetapan tersebut sudah memperhitungkan aspirasi dari pengusaha dan juga pekerja. "Adapun perhitungan UMP 2018 sudah memperhitungkan dua belah pihak. Tidak sederhana, negosiasi panjang, tapi Wagub (Sandiaga Uno) banyak pengalaman, sehingga proses lancar," jelas dia di Balai Kota Jakarta, Rabu (1/11/2017).

UMP DKI Jakarta ini dihitung berdasarkan inflasi nasional sebesar 3,71 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,99 persen. Selain itu, kenaikan UMP 2017 ini juga sesuai dengan ketetapan Menteri Ketenagakerjaan di angka 8,7 persen.

Anies mengatakan kenaikan UMP akan meningkatkan kesejahteraan buruh, tapi tidak memberatkan pengusaha yang saat ini sedang menghadapi ekonomi yang lesu. "Akan memudahkan semua pihak, buruh naik UMP pengusaha tidak terlalu menanggung berat (di tengah) ekonomi yang lesu," ujar mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Dia sedikit memberikan tips kepada buruh atau warga Jakarta soal menambah pendapatan tidak hanya dari besaran UMP, melainkan mengurangi biaya pengeluaran atau gaya hidup. "Menurunkan pengeluaran, bukan UMP saja salah satu instrumen mengurangi biaya hidup," Anies menandaskan.

Buruh pun menolak dengan besaran UMP tersebut. Para buruh mengusulkan kenaikan UMP 2018 di angka RP 3,91 juta. Sebagai penolakan, buruh akan menggelar aksi demo turun ke jalan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, sekitar 20 ribu buruh Jabodetabek akan mengepung Istana Negara pada 10 November mendatang.

Di luar Jakarta, buruh juga akan melakukan aksi turun ke jalan. Tercatat, beberapa kota yang siap menggelar aksi menuntut kesejahteraan dan upah layak adalah Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan lainnya. Diperkirakan akan ada 100 ribu buruh di seluruh Indonesia akan menggelar aksi.

Said Iqbal mengatakan, buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2018 sebesar US$ 50 atau setara dengan Rp 650 ribu. Selain itu, buruh menuntut agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dicabut.

Foto dok. Liputan6.com

"Kami menuntut upah naik Rp 650 ribu, karena upah murah saat ini tidak relevan lagi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Akibatnya daya beli menurun yang berimbas pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor," katanya.

Biaya untuk keperluan hidup buruh semakin tinggi. Di antaranya, untuk membayar kontrakan, listrik, dan kebutuhan perumahan di Jakarta, buruh harus mengeluarkan Rp 1,3 juta. Untuk transportasi Rp 500 ribu. Sementara ongkos untuk sekali makan Rp 15 ribu. Jika sehari makan 3 kali, maka satu bulan Rp 1,35 juta. Secara total, buruh menghabiskan biaya sebesar Rp 3,15 juta per bulan.

"Ini belum untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain seperti pakaian, pendidikan, dan sebagainya," ujarnya.

Hal ini diperparah dengan daya beli buruh yang semakin turun. Misalnya akibat kenaikan harga listrik. Jika sebelumnya buruh membayar listrik sebesar Rp 200 ribu, setelah kenaikan listrik buruh harus membayar Rp 300 ribu.

"Oleh karena itu, kenaikan upah sebesar Rp 650 ribu dilakukan agar upah pekerja menjadi layak dan daya beli buruh semakin meningkat yang akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 


Pengusaha juga menolak

Tak hanya buruh, pengusaha pun juga keberatan dengan kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen. Kenaikan upah ini seharusnya ditentukan secara bipartit antara pengusaha dan pekerja.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Harijanto mengatakan, kenaikan UMP sebesar 8,71 persen dinilai terlalu besar. Terlebih saat ini kondisi dunia usaha tengah lesu, seperti yang terjadi pada bisnis ritel.

"Kita tidak ada pilihan lain saat ini, kita harus menerima 8,71 persen itu. Beberapa industri berat mungkin, ritel, padat karya itu berat. Untuk beberapa sektor memang kita harus memikirkan ke depan setiap sektor, tak bisa digeneralisasi," ujar dia.

Menurut dia, besaran kenaikan UMP ini seharusnya hanya berdasarkan tingkat inflasi saja. Hal ini berbeda dengan formula kenaikan UMP dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menggunakan dua indikator, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

"‎Upah minimum harusnya naiknya hanya berdasarkan inflasi saja, selebihnya harusnya misalnya inflasi 3 koma sekian persen, ya sudah pemerintah menetapkan itu saja selebihnya per sektor. Jadi naiknya ya sudah 3 persen, tapi sektornya terpuruk malah ada yang rekomendasinya minus 1 persen. Itu upahnya bisa turun," ujar dia.

Bahkan Harijanto mengatakan kenaikan upah tersebut tidak sejalan dengan kondisi dunia usaha yang tengah lesu. Dengan kenaikan upah yang terjadi setiap tahun, akan memaksa pengusaha untuk melakukan efisiensi. Salah satunya dengan memangkas jumlah pekerja.

Dengan kenaikan UMP 2018 yang sebesar 8,71 persen akan terjadi potensi pengurangan tenaga kerja hingga 20 persen. Sebab, besaran kenaikan tersebut dinilai terlalu tinggi dan memberatkan pengusaha.

"Paling enggak antara 15 persen-20 persen, pasti efisiensinya ke tenaga kerja, pasti. Sekarang industri-industri diam-diam sudah menetapkan pengurangan-pengurangan ini. Ini kan suatu hal yang harus kita pikirkan bersama," kata dia.

 


Bagaimana negara lain?

Jika dibandingkan dengan kota-kota besar di negara lain, upah buruh di Jakarta sudah termasuk tinggi. Menengok ke belakang, UMP DKI Jakarta di 2017 yang ditetapkan sebesar Rp 3,35 juta merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan ASEAN.

Presentase kenaikan UMP di Jakarta ternyata menduduki peringkat kedua terbesar dibanding lima kota besar di ASEAN, yakni Bangkok, Hanoi, Kuala Lumpur dan Manila.

Di antara tahun 2016 dan 2017, kota besar di Asia Tenggara yang mengalami presentase kenaikan UMP terbesar adalah Kuala Lumpur. Dilansir dari Malaymailonline, ibu kota Malaysia ini mencatatkan kenaikan upah minimum sebesar 11 persen dibanding tahun sebelumnya.

Posisi kedua ditempati dengan Indonesia dengan kenaikan presentase upah 8 persen. Media Vietnam vneconomictimes.com menyebut upah minimum Hanoi meningkat sebesar 7 persen.

Bangkokpost.com melaporkan kenaikan upah di ibu kota Thailand ini sebesar 3 persen. Di posisi buncit ada Manila dengan kenaikan presentase upah sebesar 2 persen.

Penetapan upah di beberapa negara Asia dilakukan dengan pemerintah yang menetapkan tarif dasar untuk seluruh negara atau setiap wilayah. Lembaga daerah atau organisasi pihak ketiga nantinya ditunjuk sebagai pengambil keputusan.

Dilansir dari wageindicator.org, metode seperti ini didaptasi di Tiongkok dan beberapa daerah di India dan Vietnam. Sementara di Pakistan dan Indonesia, upah minimum ditentukan oleh pemerintah daerah dengan meminta rekomendasi dari organisasi pihak ketiga, seperti komunitas buruh.

Ada juga metode penetapan upah lain, yaitu dengan mengatur besaran gaji menurut sektor atau bidang pekerjaan. Pengambil keputusan dalam hal ini juga dilakukan pemerintah atau organisasi pihak ketiga.

Cara seperti ini dilakukan oleh beberapa negara seperti Kamboja, Sri Lanka serta beberapa wilayah di India, Pakistan, dan Vietnam.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya