Liputan6.com, New York - Sebuah pengetahuan umum mengatakan anak tunggal itu cerdas dan kurang ramah. Sementara orangtua dari anak tunggal, 'dibebaskan' dari kewajiban untuk memisahkan pertengkaran antar saudara, mencurahkan lebih banyak waktu dan uang untuk si anak semata wayang, mengenalkan mereka kepada berbagai macam aktivitas.
Karena menjadi satu-satunya anak di rumah, si tunggal tidak pernah berbagi mainan, kamar tidur atau perhatian orangtua. Dapat dikatakan mereka melewatkan keterampilan hidup berupa berbagi barang dan perhatian bersama.
Advertisement
Lalu, ada pertanyataan. Seperti apa otak si anak tunggal? Apakah berbeda dengan anak-anak yang memiliki saudara?
Jiang Qiu, seorang profesor psikologi di Southwest University, Chongqing, Tiongkok dan direktur dari Key Laboratory of Cognition and Personality milik kementrian pendidikan, memimpin tim peneliti Tiongkok untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dikutip dari QZ pada Kamis (2/11/2017) mereka meneliti lebih dari 250 mahasiswa China.
Para peneliti menggunakan tes kecerdasan, kreativitas dan tipe kepribadian untuk mengukur kreativitas, IQ, dan keramahan. Mereka juga mempelajari otak responden untuk melihat apakah tumbuh sebagai anak tunggal mempengaruhi struktur mereka.
Ternyata jawabannya, iya.
Pada tes perilaku, anak tunggal tidak memiliki perbedaan dalam hal IQ, tetapi tingkat fleksibilitasnya lebih tinggi — salah satu pengukur kreativitas. Sementara itu si anak tunggal memiliki tingkat keramahan yang rendah daripada anak-anak dengan saudara kandung.
Peneliti melakukan pengecekan otak yang menampilkan perbedaan signifikan antara anak tunggal dan anak-anak dengan saudara kandung, terletak di bagian otak yang berhubungan dengan fleksibilitas, imajinasi, dan perencanaan (supramarginal gyrus) serta dengan penataan keramahan dan emosional (media prefrontal cortex).
Pemindai otak juga mengungkapkan perbedaan dalam parahippocampal gyrus, yang membantu mengelola perasaan emosional dan suasana hati.
Studi ini menyimpulkan bahwa ukuran keluarga mempengaruhi tidak hanya lingkungan di mana anak-anak tumbuh, tetapi juga perkembangan otak mereka. Penelitian ini diterbitkan dalam Brain Imaging and Behavior. (Affifa Zahra)
Mitos si Anak Tunggal yang Aneh
Gagasan bahwa anak tunggal adalah hal yang kurang baik bermula 125 tahun yang lalu oleh Granville Stanley Hall, seorang peneliti dalam studi anak-anak.
Dalam penelitan Hall pada 1896 tentang 'Of Peculiar and Exceptional Children', Hall menyimpulkan anak tunggal adalah orang yang sangat aneh.
"Deskripsi Hall berupa jadi mitos yang berkepanjangan sehingga ia menyebut bahwa anak tunggal adalah penyakit," klaim Hall seperti ditulis oleh Lauren Sandler penulis dari One and Only: The Freedom of Having an Only Child, and the Joys of Being One.
Padahal, banyak bukti lain yang menunjukkan bahwa anak tunggal adalah 'si kesepian' itu adalah salah.
Hal itu diungkapkan oleh Toni Falbo, seorang profesor psikologi pendidikan di University of Texas, Austin dan peneliti metodologis Denise Polit. Mereka melakukan penelitian dengan melihat kecerdasan dan kepribadian anak tunggal.
Keduanya menemukan bahwa anak tunggal bersama dengan anak sulung dan orang-orang yang memiliki satu saudara, memiliki IQ tinggi dan memiliki pencapaian lebih banyak, tetapi tidak sangat berbeda kepribadiannya.
Jiang dan asisten penulisnya memperkirakan beberapa alasan dari temuan mereka.
Kreativitas-didefinisikan sebagai ide-ide asli yang memiliki nilai — sangat dipengaruhi oleh segala sesuatu dari struktur keluarga dan pandangan orangtua, dari interaksi hingga harapan.
Orangtua anak tunggal dapat berinteraksi lebih baik dengan anak-anak mereka, dan mencari lebih banyak kesempatan untuk memperluas kreativitas anak-anak mereka.
Orangtua juga memiliki harapan yang tinggi dari anak tunggal, atau mereka mungkin memberikan keluwesan terhadap anak tunggal untuk hidup mandiri, dan beberapa studi telah menunjukkan bahwa kemerdekaan si anak tunggal menumbuhkan kreativitas.
Mark Runco, editor Creativity Research Journal dan peneliti dari American Institute for Behavioral Research & Technology, memuji penelitan Jiang namun dengan beberapa catatan.
Runco mencatat bahwa Jiang dan timnya berfokus pada fleksibilitas. Salah satu dari tiga pengukuran kreativitas yang digunakan oleh Jiang adalah tes Torrance. Dua lainnya adalah orisinalitas (nomor unik atau ide baru yang dimiliki seseorang) dan kelancaran (betapa mudahnya orang dapat bergerak di antara mereka).
"Fleksibilitas memang penting tetapi tidak sama pentingnya untuk kreativitas sebagai orisinalitas," katanya. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam nilai orisinalitas.
Ia juga mengatakan bahwa seperti tes IQ, tes kreativitas bukanlah alat ukur yang sempurna dari apa yang dilakukan.
"Anda melihat kinerja pada tes dan itu bukan indikasi sempurna tentang apa yang orang dapat atau akan lakukan (dalam kehidupan nyata)," katanya.
Kreativitas melibatkan spontanitas dan motivasi dasar — hal-hal yang sedikit sulit untuk dinilai hanya dalam tes.
Advertisement
Studi: Anak Sulung Lebih Sukses
Penelitian terbaru yang dilakukan IZA Institute of Labor Economics mengungkap, bahwa anak pertama terbukti lebih sukses dibanding adik-adiknya.
Menurut penelitian tersebut, anak pertama 24 persen lebih mungkin bekerja di posisi puncak, seperti CEO dan eksekutif, dibanding anak kedua dan 28 persen lebih sukses dibanding anak ketiga. Sedangkan, anak kedua dan seterusnya lebih cenderung menjadi wiraswasta.
Penelitian itu mengatakan, anak pertama juga lebih stabil secara emosional, bersikap terbuka, dan bersedia bertanggung jawab dibanding adik-adiknya.
Mereka juga menemukan bahwa anak sulung lebih cenderung berada dalam karier yang bergantung pada ciri kepribadian "Lima Besar", yakni berhati-hati, berkeyakinan positif dan menghargai orang, memiliki emosi stabil, bersifat sosial, dan terbuka.
Dikutip dari Independent, Minggu 11 Juni 2017 lalu, alasan terjadinya hal tersebut memang belum diketahui pasti, namun diduga berasal dari pola pengasuhan.
Anak sulung cenderung gemar membaca buku dan menghabiskan waktu mengerjakan pekerjaan rumah mereka, dan kecil kemungkinannya untuk menonton televisi.
Para periset menunjukkan bahwa orang tua kurang menaruh investasi dan perhatian pada anak-anak mereka yang lebih muda. Misalnya saja, mereka cenderung kurang mendiskusikan pekerjaan sekolah dengan anak kedua dan adik-adiknya.
Di sisi lain, menurut penelitian YouGov, anak-anak yang lebih muda memiliki kecenderungan lebih lucu dan santai. Berbeda dengan anak sulung yang memiliki tanggung jawab lebih besar dan berorientasi keluarga.
"Perbedaan yang paling signifikan adalah dalam merasakan beban tanggung jawab - kebanyakan (54 persen) anak sulung mengatakan bahwa mereka lebih bertanggung jawab daripada saudara mereka, dibandingkan mereka yang lahir terakhir (31 persen)," demikian menurut penelitian YouGov.
"Saudara yang lebih muda, di sisi lain, lebih cenderung mengatakan bahwa mereka lebih lucu (46 persen), dibandingkan dengan kakaknya yang mengaku lucu (36 persen), mereka juga lebih santai dan rileks."