Liputan6.com, Naypyidaw - State Counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi mengunjungi daerah yang dilanda konflik di negara bagian Rakhine pada Kamis 2 November 2017. Itu adalah kali pertamanya ia mendatangi 'kampung halaman' Rohingya pasca-konflik pecah Agustus 2017.
Aung San Suu Kyi tiba di ibu kota negara bagian, Sittwe dan kemudian menuju ke wilayah Rakhine utara, di mana desa-desa Rohingya berada.
Sebelumnya, di tengah kampanye 2015, penerima Nobel Perdamaian tersebut mengunjungi area di selatan Rakhine yang lebih sedikit mengalami konflik.
Baca Juga
Advertisement
"State Counsellor baru saja tiba, namun ia bertolak ke Maungdaw di Rakhine utara bersama para pejabat," kata Tin Maung Swe, Deputi Direktur Pemerintahan Rakhine, seperti dikutip dari VOA News, Kamis (2/11/2017.
Juru bicara Aung San Suu Kyi, Zaw Htay menolak untuk membeberkan rencana kunjungan tersebut, hingga batas waktu tertentu, dengan alasan keamanan.
Lebih dari 600 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017, ketika aparat keamanan Myanmar mulai melakukan 'operasi pembersihan' untuk merespons serangan militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) terhadap aparat keamanan Myanmar.
Para serdadu, yang dibantu militan pro-militer, diduga kuat membakar desa-desa Rohingya. Laporan-laporan terkait kekerasan terhadap warga minoritas muncul, termasuk dugaan kejahatan seksual dan penembakan yang dilakukan tentara.
Aung San Suu Kyi pun jadi target kritik. Ia dianggap diam dan melakukan pembiaran. Dunia mengecamnya. Orang-orang yang dulu mendukungnya, beringsut menjauh.
Sesama penerima Nobel Perdamaian Malala Yousafzai terang-terangan mengkritiknya. Foto Aung San Suu Kyi yang terpajang di almamaternya, Oxford University, Inggris, dicopot.
Kata Aung San Suu Kyi Soal Isu Rohingya
Aung Suu Kyi baru mengakhiri diamnya pada 19 September 2017, ketika ribuan warga Rohingya bertaruh nyawa demi mencari selamat ke Bangladesh.
Kala itu, ia mengatakan bahwa tak terjadi bentrokan atau operasi pembersihan etnis di Rakhine.
Perempuan berusia 72 tahun itu pun mengatakan bahwa pemerintahnya telah melakukan sejumlah upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk memperbaiki kondisi kehidupan semua orang di Rakhine, termasuk warga muslim.
Suu Kyi juga mengatakan, seluruh pengungsi dapat kembali ke Myanmar setelah melalui proses verifikasi. Namun, dalam pidatonya, ia sama sekali tak menyebut soal peran militer dalam krisis kemanusiaan.
Pemimpin de facto Myanmar itu juga tak membahas soal pembersihan etnis, persoalan yang jadi sorotan dunia -- bahkan, ia tak secara gamblang menyebut Rohingya dalam pidatonya.
Banyak pihak, yang telah menanti momen buka suara Suu Kyi itu, dibuat kecewa. Kekecewaan itu juga dialami oleh sejumlah pemimpin dan diplomat dari sejumlah negara.
"Bukan lah niat Pemerintah Myanmar untuk melempar kesalahan atau melepaskan tanggung jawab. Kami mengecam semua pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang tak berlandaskan hukum," ujar Suu Kyi dalam pidato 'The National Reconciliation and Peace' yang disampaikan di Naypyidaw pada September 2017, seperti dikutip dari CNN.
"Kami berkomitmen dalam pemulihan perdamaian, stabilitas, dan peraturan perundang-undangan di seluruh negara bagian," kata Suu Kyi.
Meski demikian, Suu Kyi menyebut bahwa pihaknya ingin menemukan bukti kuat sebelum bertindak.
"Kami juga prihatin. Kami ingin mencari tahu apa masalah sebenarnya. Ada tuduhan dan tuduhan balasan. Kita harus mendengarkan mereka semua. Kita harus memastikan tuduhan tersebut didasarkan pada bukti kuat sebelum kita bertindak," ujar dia seperti dilansir The Guardian.
Perempuan kelahiran 19 Juni 1945 itu, juga menyampaikan bahwa Myanmar merasakan penderitaan yang dialami oleh semua kelompok di Rakhine -- negara bagian yang menjadi rumah bagi warga Muslim Rohingya.
"Kami prihatin mendengar banyak warga muslim kabur ke Bangladesh," kata Suu Kyi. "Kami ingin mencari tahu mengapa eksodus ini terjadi," imbuh dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement