Liputan6.com, Jakarta Pembatasan impor tembakau dianggap kurang tepat karena akan berdampak pada keberlangsungan industri hasil tembakau di dalam negeri. Pemerintah diminta mempertimbangkan sebelum mengambil kebijakan ini.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Kretek-Indonesia Djoko Wahyudi mengatakan, sebagai negara yang masih mengalami defisit tembakau baik secara kualitas, kuantitas, dan varietas, impor tembakau masih dibutuhkan oleh industri, terutama varietas yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri.
Advertisement
“Dalam membuat kebijakan, pemerintah seharusnya memperhatikan dampak terhadap seluruh pihak. Jangan sampai, selalu para buruh yang ujung-ujungnya menjadi korban,” ucap Djoko di Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Djoko menekankan bahwa jika tidak ada bahan baku tembakau yang tersedia, para buruh tidak dapat bekerja, dan pada akhirnya dapat kehilangan pekerjaan mereka.
Dalam empat tahun terakhir, rata-rata produksi tembakau di Indonesia selalu di bawah 200.000 ton per tahun. Sementara, permintaan tembakau berkisar 340.000 ton per tahun.
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto juga mengatakan, pemerintah sebagai regulator sekaligus pelindung tata kelola industri hasil tembakau harus berdiskusi dengan pabrikan untuk mencari cara mencukupi kebutuhan bahan baku tembakau di Indonesia.
“Memang tidak semudah membalik tangan. Namun, koordinasi diperlukan supaya tidak perlu terjadi PHK karena produksi harus dihentikan,” sambung Sudarto.
Dalam mengatasi masalah pembatasan impor tembakau, pabrikan dan petani harus selalu melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan produksi tembakau melalui bentuk kemitraan. Program kemitraan mulai dari pendampingan, pemberian modal, dan teknologi, penanaman, hingga panen.
“Pemerintah sebagai pengawas harus betul-betul mengawasi supaya dalam kemitraan tersebut tidak berat sebelah. Ada jaminan bagi petani, produknya mesti dibeli oleh pabrikan dengan harga standar tertentu,” tutup Sudarto.
Alasan Pemerintah Naikkan Cukai Rokok
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau rokok dengan rata-rata tertimbang sebesar 10,04 persen per 1 Januari 2018. Kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok.
Kenaikan tarif cukai rokok tahun depan tertuang melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Adapun dalam beleid aturan ini, kenaikan tertimbang tarif cukai untuk jenis Sigaret Keretek Mesin (SKM) sebesar 10,9 persen, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 13,5 persen karena merupakan pabrikan besar dan industri padat modal. Adapun kenaikan tarif untuk Sigaret Keretek Tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya ditetapkan hanya sebesar 7,3 persen. Bahkan untuk SKT golongan IIIA tidak ada kenaikan tarif.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan, kebijakan kenaikan cukai rokok mulai 1 Januari 2018 memprioritaskan pengendalian atas konsumsi rokok. Namun, tetap memperhatikan aspek lainnya, yaitu kondisi industri dan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan perpajakan dari sektor cukai, serta peredaran rokok ilegal.
"Keberpihakan kami terhadap aspek tenaga kerja industri hasil tembakau juga ditunjukkan dengan mendekatkan secara bertahap tarif terendah untuk jenis SPM golongan II dengan tarif cukai tertinggi pada jenis SKT golongan I. Tujuannya tarif cukai untuk seluruh SKT menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tarif cukai untuk SKM," kata Heru dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (31/10/2017).
Lebih jauh, Heru menjelaskan, kenaikan tarif cukai rokok setiap tahun merupakan upaya pemerintah dalam rangka pengendalian konsumsi guna kesehatan masyarakat. Selama tiga tahun terakhir, ia menjelaskan, produksi rokok cenderung stagnan, bahkan turun.
Dari data Bea dan Cukai, produksi rokok tahun lalu turun 1,8 persen. Sementara proyeksinya pada tahun ini akan kembali merosot sekitar 2,8 persen.
"Kenaikan tarif cukai rokok pada 2018 sebesar 10,04 persen diprediksi dapat kembali menurunkan produksi sebesar 2,2 persen, serta menurunkan prevalensi merokok hingga 0,4 persen," Heru menerangkan.
Menurutnya, penurunan prevalensi merokok ini akan diikuti dengan penurunan perokok usia di bawah 15 tahun dan perokok perempuan.
"Penurunan produksi dan konsumsi rokok diharapkan berdampak positif terhadap pengurangan pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok maupun pengurangan biaya kesehatan atas penyakit yang ditimbulkan karena merokok," jelas Heru.
Pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk mengantisipasi penurunan produksi rokok yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap permintaan bahan baku tembakau.
Kondisi ini tentu akan berimbas pada kesejahteraan petani tembakau, pemanfaatan DBH untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, dan pembinaan lingkungan sosial.
Program peningkatan kualitas bahan baku antara lain, untuk standardisasi kualitas bahan baku, pembudidayaan bahan baku bernikotin rendah, dan memfasilitasi pembentukan badan hukum kelompok petani tembakau.
Adapun program pembinaan industri diharapkan memfasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha kecil, menengah, dan usaha besar.
Sementara program pembinaan lingkungan sosial diharapkan mampu meningkatkan pembinaan dan pelatihan keterampilan kerja bagi tenaga kerja dan masyarakat, penguatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan padat karya yang dapat mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Advertisement