Catat, Pidato Kebudayaan DKJ Digelar 10 November

Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) akan digelar 10 November 2017 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 03 Nov 2017, 11:07 WIB
Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) akan digelar 10 November 2017 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Liputan6.com, Jakarta Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) akan kembali digelar. Program tahunan DKJ yang diadakan rutin tiap tahun sejak 1989 ini kerap menampilkan tokoh-tokoh nasional, untuk mengupas seluk-beluk persoalan penting dan aktual yang terjadi di tanah air. Para pembicara yang dihadirkan berusaha menjawab tantangan yang melanda Indonesia menggunakan pemikiran yang jernih dari perspektif kebudayaan.

Tahun ini, Pidato Kebudayaan DKJ akan digelar 10 November di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73. Dibuka untuk umum dan gratis, hadir menjadi pembicara yaitu Roby Muhamad, seorang ilmuwan dan enterpreneur, yang akan membawakan pidatonya yang berjudul “Nostalgia Masa Depan”.

 

 


Tentang Pidato Kebudayaan DKJ

Praktis selama lebih dari dua dekade, Pidato Kebudayaan DKJ telah menampilkan beragam tokoh. Pada kurun 1989-1996, misalnya, ekses negatif dari liberalisasi dan deregulasi yang dilakukan sejak 1980-an mulai terasa. Modernisasi yang datang bersama keterbukaan mengakibatkan kebudayaan daerah terpinggirkan dan pembangunan terpusat di Pulau Jawa. Modernisasi juga me­munculkan pola hidup konsumtif dan mengakibatkan kerusakan lingku­ngan. Umar Kayam (1989), Emil Salim (1991), B.J. Habibie (1993), Mochtar Kusumaatmadja (1994), dan Fuad Hassan (1995) mengusulkan relasi-relasi baru yang menghubungkan daerah-pusat, tra­disi-modernisasi, dan budaya-teknologi.

Sementara Ginanadjar Kar­ta­sasmita (1996) dan Ali Sadi­kin (1999) menawarkan gagasan good go­vernment dan partisipasi publik untuk memperbaiki keadaan.

Menjelang dan setelah reformasi, tokoh yang aktif menentang Orde Baru seperti Rendra (1997), Amien Rais (1998), Ali Sadikin (1999), dan Todung Mulya Lubis (2000, 2003), selain juga Sri Sultan Hamengkubuwono (2002), mendapat kesempatan menguraikan gagasan-gagasannya dalam bidang kebudayan dan hukum/HAM untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Sementara persoalan-persoalan baru yang muncul di era reformasi berusaha dijawab dengan argumentasi berbasis moral oleh Ayzyumardi Azra (2001), Hidayat Nur Wahid (2004). Ahmad Syafii Maarif (2005), Zawawi Imron (2007), Busyro Muqqodas (2011), dan Mahfud MD (2012).

Dua pembicara, Herry Priyono (2006) dan I Gusti Agung Ayu Ratih (2008), melihat kebuntuan demokrasi sebagai persoalan utama kita saat itu. Dua lainnya, Ignas Kleden (2009) dan Rocky Gerung (2010), mengusulkan gagasan untuk memperkuat ruang privat dan ruang publik. Sebelumnya, Karlina Supeli (2013) memprioritaskan delapan siasat untuk mentransformasikan kebiasaan-kebiasaan publik sebelum mewanacakan peta besar atau strategi kebudayaan tertentu. Dan Hilmar Farid (2014) mengajak kita melihat sejarah sebagai kritik.

Melalui Pidato Kebudayaan, DKJ telah menyebarkan pemikiran-pemikiran yang bernilai dari anak bangsa yang patut direnungkan dan disebarkan, agar memberi manfaat bagi kemajuan kehidupan dan peradaban bangsa.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya