Liputan6.com, Makassar - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) menetapkan Soedirjo Aliman alias Jen Tang, salah seorang pengusaha ternama pengembang reklamasi di Sulsel sebagai tersangka dalam dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Buloa.
Jen Tang diduga berperan sebagai aktor utama di balik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara yang terdapat di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.
Penetapan pengusaha reklamasi itu sebagai tersangka pun telah dikuatkan oleh beberapa bukti. Di antaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus ini yang sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M Sabri, Rusdin, dan Jayanti.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, bukti lainnya adalah hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Menurut Kejati Sulselbar, dana sewa lahan diduga diambil oleh Jen Tang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulselbar, Jan Maringka mengatakan, pengusaha reklamasi itu diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin, dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya. Alhasil, PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.
"Nah, dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya," ucap Jan saat menggelar konferensi pers di Kantor Kejati Sulselbar, Rabu, 1 November 2017.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Alasan Penetapan Tersangka
Menurut Jan Maringka, penetapan Jen Tang sebagai tersangka juga sebagai tindak lanjut dari langkah Kejati Sulselbar dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.
Kejati Sulselbar akan segera melakukan langkah langkah pengamanan aset. "Terutama untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut," Jan menegaskan.
Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan Buloa ini, Kejati Sulselbar akan segera melayangkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.
Tersangka Jen Tang bakal dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. "Serta Pasal 3 dan Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)," Jan Maringka memungkasi.
Adapun Soedirjo Aliman alias Jen Tang, tersangka kasus pencucian uang, saat dikonfirmasi enggan berkomentar banyak. Ia mengaku belum menerima surat penetapan tersangka secara resmi. Meski demikian, ia tetap akan menghargai proses hukum yang sementara berjalan.
"Nanti tim penasihat hukum saya yang menanggapi," ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Advertisement
Aksi Jen Tang
Jen Tang bukanlah sosok yang asing bagi kalangan Kejati Sulselbar. Berdasarkan data Liputan6.com, tiga tahun lalu, pengusaha reklamasi itu berhasil mengakibatkan dua pejabat Kejati Sulselbar dicopot dari jabatannya.
Kedua mantan pejabat Kejati Sulselbar tersebut adalah Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Sulawesi Selatan, Kadarsyah dan Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sulsel, Fri Hartono.
Keduanya dicopot dari jabatannya karena diduga bertemu Jen Tang yang kala itu diketahui sebagai pihak yang berperkara dalam perkara pidana umum reklamasi pantai ilegal dan pemalsuan kuitansi ganti rugi lahan.
Perbuatan kedua mantan pejabat Kejati Sulsel itu terbukti berdasarkan inspeksi kasus yang diadakan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas). Di mana keduanya terbukti melanggar kode etik dan dimutasi dari jabatan masing-masing.
Berdasarkan surat Keputusan Jaksa Agung No: Kep-175/A/JA/10/2014 tanggal 16 Oktober 2014, Kadarsyah dicopot dari Wakajati Sulsel menjadi Koordinator pada Jampidum. Posisinya digantikan Heru Sriyanto yang sebelumnya menjabat Koordinator pada Jamintel saat itu.
Sedangkan Fri Hartono menjabat Kabid Program pada Kabadiklat Kejagung. Saat itu, posisinya sebagai Aspidum Kejati Sulsel digantikan M Yusuf yang dipromosi dari Kajari Medan, Sumatera Utara.
Kasus pelanggaran kode etik Kadarsyah dan Yusuf bermula ketika keduanya diduga menerima gratifikasi masing-masing berupa mobil Toyota Alphard seharga Rp 1,8 miliar dan Honda Freed seharga Rp 300 juta terkait penanganan kasus reklamasi pantai ilegal dan pemalsuan kuitansi ganti rugi lahan.
Kajati Sulsel, Suhardi yang merupakan mantan Direktur Penuntutan (Dirtut) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), bahkan turut diperiksa dalam kasus tersebut.
Dalam perkembangannya, Jamwas yang kala itu dijabat Mahfud Manan menilai keduanya tidak terbukti menerima gratifikasi. Keduanya hanya dinyatakan terbukti melanggar kode etik dengan mengadakan pertemuan dengan tersangka kasus tersebut, yaitu pemilik PT Bumi Anugerah Sakti (BAS) Jeng Tang yang dalam proses persidangan dinyatakan bebas.