Liputan6.com, Jakarta - Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatatkan penurunan laba bersih selama Januari-September 2017. Laba PT PLN (Persero) jeblok 72 persen menjadi Rp 3,06 triliun di sembilan bulan ini, dan PT Pertamina (Persero) mengalami penurunan 30 persen menjadi US$ 1,99 miliar dibanding periode sama 2016.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengaku akan meminta kepada Menteri BUMN dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk bergerak meneliti secara detail terhadap neraca keuangan kedua BUMN dan melakukan langkah antisipasi.
"Kita akan minta kepada Menteri BUMN dan menteri teknisnya untuk melakukan penelitian yang detail terhadap masing-masing neraca BUMN itu dan melakukan langkah-langkah antisipasi," kata dia di kantornya, Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Baca Juga
Advertisement
Sri Mulyani menegaskan, apabila laba bersih dua perusahaan pelat merah itu tergerus akibat kebijakan pemerintah, maka pemerintah akan mencari solusi melalui kebijakan pemerintah.
"Tapi kalau urusannya efisiensi, kemampuan menutup kebocoran, kemampuan untuk memaksimalkan penerimaan mereka, itu adalah urusan manajemen. Dan kita harapkan direksi bisa melakukan (mencari solusinya)," ucapnya.
Pemerintah, menurutnya, akan terus memantau neraca keuangan dari seluruh BUMN yang ditugaskan menjalankan tugas penting dalam pembangunan infrastruktur maupun industri-industri strategis, seperti kelistrikan dan migas.
"Kita akan lihat neraca rugi labanya, aset yang mereka miliki, beban utang, dan beban dari misi-misi yang harus mereka kerjakan," tandas Sri Mulyani.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kehilangan potensi pendapatan
PT Pertamina (Persero) menyatakan kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Hal disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barrel. Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM.
"Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan," ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis (2/11/2017).
Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.
"Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga nggak disesuaikan," kata dia.
Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.
Selain itu laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini juga mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama di 2016. Hingga September 2017, perusahaan plat merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.
"Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar)," jelas dia.
Advertisement