Liputan6.com, Serang - Karangantu pernah menjadi pelabuhan besar dan menjadi perlintasan penting dunia pada zaman Kesultanan Banten. Namun, sejarah hebat itu kini nyaris tak bersisa. Yang ada saat ini hanya kesan kumuh dan tak terawat akibat tumpukan sampah dan pendangkalan yang parah.
"Kalau di Pelabuhan Karangantu ini terjadi pendangkalan yang cukup besar, mungkinkah kita melihat potensi baru yang populasi nelayannya cukup besar?" kata Syarief Widjaja, Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), saat ditemui di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, di Kota Serang, Banten, Kamis, 2 November 2017.
Berdasarkan catatan sejarah, Pelabuhan Karangantu pernah menjadi bagian dari Jalur Sutra. Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Belanda kala itu, pernah mencatat terdapat enam perahu China membawa barang berharga senilai 300 ribu real.
Baca Juga
Advertisement
Ramainya Pelabuhan Karangantu tak lepas dari kejelian Sultan Banten Maulana Hasanudin. Pada era kepemimpinannya, pusat pemerintahan dipindahkan dari bagian hulu ke hilir Sungai Cibanten. Tujuannya untuk memudahkan hubungan dagang dengan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda.
Pihak Banten pada masa itu membaca situasi politik dan perdagangan di Asia Tenggara. Saat itu, pedagang dari mancanegara risau karena Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Karena pedagang Muslim yang tengah bermusuhan dengan Portugis enggan berhubungan dagang dengan Malaka, para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat, mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda. Mereka pun singgah di Karangantu.
Sejak itu, Karangantu jadi pusat perdagangan internasional yang disinggahi pedagang Asia, Afrika, dan Eropa. Hal itu dibuktikan dengan peninggalan keramik dari Tiongkok, Jepang, dan Belanda yang tersimpan rapi di Museum Banten.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pelabuhan Pengekspor Beras
Karangantu dulu merupakan pelabuhan yang ramai di daerah Banten. Karangantu merupakan pintu masuk kapal-kapal menuju daerah Banten dan pelabuhan terbesar kedua setelah Sunda Kelapa.
Bandar Banten merupakan bandar internasional dan dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Arab, Persia, Gujarat, Birma, Tiongkok, Perancis, Inggris dan Belanda.
Sebagai pelabuhan kedua, Banten telah menjadi pelabuhan pengekspor beras dan lada (Cortesso, 1941; Roelofsz, 1962:124). Catatan lebih terperinci didapat dari Barbosa yang menyebutkan bahwa dari pelabuhan Banten tiap tahun telah diekspor lada sebanyak seribu bahar (Chijs, 1881:4).
Selain sebagai pelabuhan, Karangantu juga berfungsi sebagai pasar untuk usaha meningkatkan jual beli barang dagangan, seperti tekstil dan keperluan sehari-hari lainnya.
Di Kota Banten ada beberapa macam tipe jual beli sesuai dengan fungsi pasar di Banten Lama seperti yang tertulis dalam Babad Banten. De Houtman telah menggambarkan Pasar Karangantu secara mendetail dan terperinci.
Tempat penjualan semangka, mentimun, dan kelapa merupakan kelompok A. Sementara, tempat penjualan gula dan madu dalam periuk-periuk, masuk kelompok B. Kelompok C menggambarkan tempat penjualan kacang, kelompok D tempat penjualan tebu dan bambu, E tempat penjualan keris, pedang dan tombak.
Kelompok F tempat pakaian laki-laki, kelompok G tempat penjualan bahan pakaian wanita. Kelompok H tempat penjualan rempah-rempah, benih dan biji-biji kering. Kelompok I tempat orang-orang Benggala dan Gujarat menjual barang besi dan barang tajam.
Advertisement
Pembagian Jualan
Khusus kedai orang Cina digambarkan pada kelompok K. Adapun L adalah tempat penjualan daging, M tempat penjualan ikan, N tempat penjualan buah-buahan, O tempat penjualan sayur-sayuran, P tempat penjualan merica, Q tempat penjualan brambang (bawang), R tempat penjualan beras, S kios untuk pedagang, T tempat penjualan emas dan permata.
Pada urutan kelompok lain terpisah dengan kelompok bagian dalam dan disebutkan kelompok V, yaitu perahu-perahu asing yang penuh dengan muatan bahan makanan.
Pada kelompok akhir yaitu kelompok X adalah tempat penjualan unggas (de Houtman, 1596-1597). Sampai sekarang pun Karangantu masih menjadi tempat andalan bagi para nelayan di sekitarnya yang menggantungkan hidupnya dari mencari ikan.
Meski masih difungsikan sebagai pelabuhan nelayan, jejak kebesaran itu nyaris tak terlihat lagi. Di pelabuhan itu kini hanya terlihat bangunan kumuh dari kayu di kanan kirinya.
"Sejarah di abad 16 dan 17 dengan pelabuhan besar, kemaritiman dan perdagangan, kemudian kita dengn PPN Karangantu kelas pelabuhan tertinggi di Banten," kata Suyitno, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, di tempat yang sama.
Tentang pendangkalan yang parah, kumuh, dan kesemrawutan yang telah terjadi puluhan tahun terjadi, Suyitno berdalih bahwa penataan fisik belum menjadi program prioritas.
"Secara bertahap, kita juga kan bukan hanya berpikir fasilitas pokok saja, seperti alur (laut), dulu ada banyak illegal logging, sekarang sudah tidak ada," katanya.