Sri Mulyani Bongkar Penipuan Kepabeanan yang Rugikan RI Rp 118 M

Kasus ini menyebabkan kerugian negara yang tergolong besar mencapai lebih dari Rp 118 miliar.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Nov 2017, 21:31 WIB
Menkeu Sri Mulyani membongkar penipuan kepabeanan yang merugikan negara hingga Rp 118 Miliar. (Dok Ditjen Bea dan Cukai)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Kejaksaan Agung membongkar modus penyelewengan fasilitas kepabeanan yang dilakukan oleh PT SPL. Nilai kerugian negara akibat kejadian ini mencapai lebih dari Rp 118 miliar.

PT SPL merupakan salah satu perusahaan penerima fasilitas kepabeanan di kawasan berikat yang mendapat fasilitas kepabeanan penagguhan bea masuk atas bahan yang diimpor untuk diolah di dalam negeri, dan kemudian diekspor kembali.

"Mereka mengaku ekspor sebanyak 5 kontainer berisi 4.083 roll kain, tapi faktanya cuma 583 roll. Itu tujuh kali lebih kecil dari yang seharusnya," tegas Sri Mulyani saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Menurutnya, sisa ribuan roll yang tidak diekspor tersebut merembes dijual di dalam negeri tanpa membayar bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Mereka, sambung Sri Mulyani, tersangka memanipulasi dokumen ekspor agar seolah-olah kain itu diekspor, dan tidak masuk ke dalam rekening perusahaan. Namun disamarkan dengan membeli sejumlah aset, tanah, rekening, mesin.

"Bahkan mereka bisa mengakali untuk minta restitusi (pengembalian) PPN," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Sri Mulyani mengungkapkan, kasus ini menyebabkan kerugian negara yang tergolong besar mencapai lebih dari Rp 118 miliar. Berasal dari tidak terpenuhinya bea masuk sebesar Rp 55,76 miliar, PPN sebesar Rp 50,20 miliar, dan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 12,07 miliar.

 


Modus Baru

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, Heru Pambudi menjelaskan kasus PT SPL menggunakan modus yang relatif baru dan lebih kompleks dibanding lainnya.

"Karena biasanya barang masuk kemudian stay sebentar di kawasan berikat, lalu dikeluarkan, tapi mereka memprosesnya, ditaruh dulu di kawasan berikat, di administrasikan, lalu dikeluarkan. Lalu dia menggunakan rekening dan pembukuan ganda," terangnya.

Pemerintah melalui sinergi dengan Kejagung, PPATK dapat melacak modus baru ini, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Ini adalah bagian dari upaya penertiban DJBC terhadap impor-impor nakal yang berisiko tinggi.

Heru bilang, kerja sama ini berhasil membekukan aset milik tersangka FL selaku Direktur Utama PT SPL dan Direktur Keuangan berinisial BS.

"Kami bisa membekukan aset mereka, berupa rekening sebesar Rp 7,7 miliar, pabriknya senilai Rp 50 miliar, tanah Rp 23 miliar, asuransi Rp 1 miliar, dan apartemen Rp 700 juta. Ini merupakan yang kedua dan terbesar yang berhasil kami tangani," terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, M Prasetyo mengatakan, kasus PT SPL telah berimplikasi besar untuk negara karena menyebabkan kerugian hingga lebih dari Rp 118 miliar untuk satu kasus saja.

"Kami tidak kenal kompromi karena importir sudah diberikan kemudahan oleh pemerintah, seperti bebas bea masuk, PPN, dan PPh, namun menyalahgunakannya," tegasnya.

Atas tindak kejahatan tersebut, Prasetyo mengatakan, FL dan BS didakwa dengan dua pasal sekaligus, yakni pasal 102 huruf f UU Kepabeanan Tahun 1999 dan diperbaiki dengan UU Nomor 17 Tahun 2006. Ancaman pidananya minimal satu tahun, maksimal 10 tahun, dan pidana denda sebesar Rp 50 juta minimal dan maksimal Rp 5 miliar.

Kemudian dijerat dengan pasal 3 huruf a, yaitu memalsukan dokumen pabeanan. Ancaman pidana minimal dua tahun, dan maksimal delapan tahun. Dendanya sama minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 50 miliar.

"Ini kami sampaikan supaya importir yang masih coba-coba nakal, berpikir ulang. Dengan tindakan ini, membuat satu kepatuhan importir untuk memenuhi kewajibannya karena hukumannya tegas," kata Prasetyo.

Sementara itu, Ketua PPATK, Kiagus Badaruddin menyampaikan dari hasil pemeriksaan, terjadi dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mengindikasikan adanya informasi penggunaan rekening pribadi, rekening perusahaan, dan karyawan PT SPL dalam menampung hasil tindak pidana kepabeanan sejak Januari 2015-2016, serta adanya informasi pembelian beberapa aset yang diduga berasal dari tindak pidana kepabeanan.

"Tersangka diduga melakukan TPPU dengan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU)," tegas Kiagus.

Penyidik Bea Cukai telah melakukan penyitaan terhadap sejumlah aset milik FL, berupa 16 rekening senilai lebih dari Rp 6,7 miliar, tanah dan bangunan dengan total luas tanah 7.893 meter persegi dengan nilai pembelian Rp 23 miliar.

Adapula mesin tekstil dengan nilai pembelian Rp 50 miliar, satu unit apartemen dengan nilai pembelian Rp 700 juta dan polis asuransi senilai lebih dari Rp 1 miliar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya