Liputan6.com, Mosul - Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mencatat sebanyak 741 warga sipil di Mosul, Irak, tewas dieksekusi oleh ISIS. Dilansir dari BBC (2/11/2017), kota Mosul menjadi medan pertempuran antara pasukan gabungan Irak dan AS melawan tentara ISIS.
Zeid Raad Al Hussein selaku Ketua Bidang HAM PBB berkata, "ISIS harus bertanggung jawab atas kejahatan keji dan pelanggaran nilai kemanusiaan yang mereka telah perbuat."
Advertisement
ISIS diduga telah melakukan berbagai macam eksekusi terhadap warga sipil Mosul, seperti melakukan penculikan massal, menggunakan "tameng" manusia, melempar bangunan dengan granat, hingga penembakan terhadap penduduk lokal yang coba melarikan diri.
Pihak PBB juga mencatat, sekitar 461 orang lainnya tewas akibat serangan udara yang dilakukan oleh militer Irak dan AS selama pertempuran.
Menurut sebuah laporan dari Misi Bantuan PBB untuk Irak dan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, pertempuran melawan ISIS telah menimbulkan korban sebanyak 2.521 warga sipil yang terbunuh dan 1.673 korban luka.
Perang Mosul sendiri telah berlangsung sejak November 2016 hingga Juli 2017
Sejak November 2016, anggota ISIS "berfatwa" bahwa area pemukiman di Mosul yang telah dikuasai oleh pasukan Irak merupakan target perang mereka.
Hal itu kemudian menjadi sebuah pembenaran oleh ISIS untuk melakukan penyerangan ke bagian timur kota. Taktik perang yang mereka gunakan adalah dengan melemparkan granat, menggunakan alat peledak improvisasi (IEDs), dan menembak secara brutal warga yang coba melarikan diri.
Zeid berujar, "Selama proses invasi, ribuan warga sipil mengeluhkan tentang adanya pelanggaran HAM berat yang menyalahi hukum kemanusiaan internasional."
Ia mengatakan, tindakan yang dilakukan ISIS, seperti pembunuhan warga sipil hingga perampokan, merupakan hal yang tak boleh dibiarkan ada dalam tiap pertempuran. "Mereka harus bertanggung jawab atas tindak kriminal keji yang telah dilakukan," tambahnya.
PBB mengajak publik internasional untuk peduli atas apa yang terjadi di sana. Mereka juga mendesak Irak untuk menerima yuridiksi dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Pengadilan Irak tidak memiliki yuridiksi untuk tindak kriminal internasional, dan belum dapat menjamin proses hukum dan peradilan berjalan dengan baik.
Pelatihan Militer AS untuk Irak
Keberhasilan Irak untuk merebut kembali Kota Mosul dari cengkeraman ISIS tak lepas dari strategi jitu Amerika Serikat yang kala itu dipimpin oleh Barack Obama.
Alih-alih menempatkan pasukan angkatan darat dalam jumlah besar, pemerintahan AS di bawah komando Obama nonstop melakukan serangan udara yang dikombinasikan dengan latihan dan pengarahan kepada pasukan proxy lokal.
Pejabat Pentagon mengatakan, hasilnya jelas, pasukan Irak kini telah menjadi tentara tangguh yang menang dalam pertempuran di area perkotaan yang berlangsung brutal.
"Pelatihan sukses. Itu memungkinkan pasukan Irak menguasai kembali negara mereka. Kondisinya sangat berbeda ketika Menteri Pertahanan Ashton Carter mengatakan pada Mei 2015 bahwa pasukan Irak 'tidak menunjukkan keinginan bertempur'," ujar salah seorang perwira militer senior AS yang dikirim ke Irak pada periode 2015-2016 seperti dikutip dari News.com.au pada Senin (10/7/2017).
Ketika ISIS menyerang dan merebut Mosul pada 2014, pasukan Irak yang berada di bawah Perdana Menteri Nouri al-Maliki masih "lemah". Kebanyakan dari mereka akan berbalik dan lari jika menghadapi musuh, tanpa melakukan perlawanan.
Namun, setelah diadakan pelatihan situasi menjadi berbeda. "Mereka menakjubkan. Bahkan, ISIS terkejut melihat betapa cepatnya pergerakan tentara Irak," ujar perwira senior AS tersebut.
Keterampilan yang mereka pelajari di bawah pengawasan AS sebelumnya, yakni pada 2008-2011, berpusat pada melawan sebuah pemberontakan--bukan menghentikan sebuah pergerakan musuh yang cepat.
"Kami membutuhkan tentara yang dapat bertarung secara konvensional," ungkap sang perwira.
Keputusan menggunakan ratusan tentara AS dan pakar militer Barat lainnya untuk melatih pasukan lokal sebagian besar berkaca pada Perang Irak. Setidaknya lebih dari 4.400 pasukan AS tewas dalam perang tersebut.
Publik AS kala itu tidak ingin Barack Obama mengirim pasukan tempur tambahan untuk kembali ke Irak.
Advertisement