Trauma Nelayan Pulau Daga Kecil yang Terusir Gara-Gara Pariwisata

Di bekas rumah-rumah nelayan di Pulau Daga Kecil yang dianggap tak layak huni, berdiri sebuah homestay mewah yang ditinggali pejabat.

oleh Hairil Hiar diperbarui 04 Nov 2017, 11:02 WIB
Di bekas rumah-rumah nelayan di Pulau Daga Kecil yang dianggap tak layak huni, berdiri sebuah homestay mewah yang ditinggali pejabat. (Liputan6.com/Hairil Hiar)

Liputan6.com, Pulau Widi - Natalia Nari Cahterine menangis. Perempuan yang sudah empat tahun menjajaki Pulau Daga Kecil, Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan, itu tak kuasa menahan air matanya, kala mendengar warga kampung nelayan Daga terusir.

Ancaman pengusiran itu sebenarnya sudah disampaikan tujuh bulan lalu oleh Bupati Halmahera Selatan Bahrain Kasuba. Ancaman tersebut terbukti bukan omong kosong. Rumah-rumah penduduk kampung nelayan setempat dibongkar dan dibakar.

Natalia adalah salah seorang CEO PT Leadership Island Indonesia (LII) yang melakukan survei keindahan alam dan laut Kepulauan Widi. Perusahaan asal Inggris itu diberikan hak oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk mengelola Kepulauan Widi selama 35 tahun guna dijadikan pusat ekoturisme dan bahari.

Begitulah, sedikit cerita tentang Natalia Nari Cahterine, yang dikemukakan La Siani, salah seorang nelayan Daga Kepulauan Widi, Kecamatan Gane Barat Selatan, ketika disambangi di Pulau Daga Kecil, Sabtu sore, 28 Oktober 2017.

Rumah La Siani sebelum satu bulan pelaksanaan lomba mancing Widi International Fishing Tournament atau WIFT pada 25-29 Oktober 2017, berada tepat berhadapan dengan Dermaga Daga, Kepulauan Widi. Saat ini, rumah La Siani dan 10 rumah lainnya yang terbuat dari papan dan beratap daun rumbia itu tinggal cerita.

"Sudah dibongkar. Sebagian dibakar," kata La Siani menceritakan rumah miliknya yang dibangun 16 tahun lalu yang kini sudah digantikan dengan homestay mewah yang ditempati Gubernur Malut saat WIFT.

Lelaki 68 tahun yang mempersunting wanita asal Gane Barat Selatan itu, sepertinya trauma. Hanya bisa memendam asa yang dirusak oleh pemerintah daerah setempat.

La Siani menceritakan, selama empat malam, setelah rumahnya dibongkar, lelaki asal Buton, Sulawesi Tenggara, itu mengatakan, saat pembongkaran dilakukan, sebagian warga pemilik rumah yang berprofesi nelayan sedang melaut.

"Mereka tidak ada di tempat saat pembongkaran. Kalau saya ada, dan saya memilih bongkar sendiri (tak ada pilihan lain). Saya tidak mau mereka bongkar karena saya sendiri tidak tega lihat orang lain bongkar," ucapnya.

Ia bersama istrinya dan warga yang lain lalu tidur beralas tanah di bawah pohon. "Kami tidur di bawah pohon cemara. Lantai pakai papan. Ada terpal yang kami gunakan sebagai pampele (penghadang hujan dan panas)," kata La Siani.

Saksikan video pilihan berikut:


Empat Malam Penuh Duka

Di bekas rumah-rumah nelayan di Pulau Daga Kecil yang dianggap tak layak huni, berdiri sebuah homestay mewah yang ditinggali pejabat. (Liputan6.com/Hairil Hiar)

Rumah La Siani yang ada saat ini baru terdapat lantai papan berbentuk panggung yang beratap terpal bekas. "Kalau (terpal) baru ini dikasih Ibu Natalia," ujar dia.

Lantai rumah yang baru didirikannya beberapa hari lalu itu belum dilengkapi dinding dan dapur. Mereka tidur, memasak, dan makan di atas lantai rumah itu.

"Seperti inilah keadaan saya dan istri sekarang ini. Rumah-rumah yang sudah ada sejak puluhan tahun hanya kenangan bagi kami," kata La Siani.

Namun, semua itu kini hanya menjadi kenangan buruk. La Siani bahkan tak mau melihat lagi gambar rumah yang pernah dihuninya bersama istri dan anak-anaknya itu, tak mau mengintip.

"Saya tidak mau lagi lihat gambar rumah saya (sebelum dibongkar). Tidak mau lagi," ucap Siani terus merunduk sambil meneteskan air mata.

La Siani tak pernah menyangka nasib buruk yang dialaminya. Pasalnya, Natalia Nari Cahterine berencana akan menjadikan kampung nelayan tersebut sebagai desa wisata. Bahkan, Natalia sering mengajari warga Bahasa Inggris sebagai persiapan jika rencana itu terwujud.

"Mau bagaimana. Kami orang biasa. Kalau sudah mau pemerintah seperti itu mau bagaimana. Maunya kami ya jangan bongkar. Kami bermukim di sini sudah puluhan tahun. Kami tidak tahu kalau di sini akan dijadikan tempat wisata seperti ini," katanya.

Sebanyak 15 kepala keluarga tinggal di pulau terasing itu saat ini. Sebagian besar kepala keluarga di pulau setempat memiliki anak 3 sampai 5 yang terdiri dari lelaki dan perempuan.

Seluruh penduduk di kampung nelayan itu menetap di Pulau Daga Kecil untuk mencari biaya pendidikan anak-anak mereka dan makan sehari-hari. Setelah rumah-rumah nelayan dibongkar, Pemprov Maluku Utara hanya menggantinya dengan uang tunai sebesar Rp 10 juta per unit.

"Uang Rp 10 juta sudah dikasih tunai. Semua ada 11 unit. Itu dari orang provinsi yang kasih, saya tidak tahu namanya. Saya terpaksa terima karena seluruh warga sudah terima. Karena terima atau tidak rumah sudah dibongkar," ujar La Siani.


Rumah Nelayan Tak Dianggap

Di bekas rumah-rumah nelayan di Pulau Daga Kecil yang dianggap tak layak huni, berdiri sebuah homestay mewah yang ditinggali pejabat. (Liputan6.com/Hairil Hiar)

Uang ganti rugi tersebut apabila disesuaikan dengan kos pembangunan rumah baru berbahan papan dan daun rumbia di kawasan Daga Kecil tidak lah cukup. Belum lagi untuk biaya bensin dan ongkos sewa perahu katinting dari Desa Gane Luar ke Pulau Daga Kecil yang setidaknya butuh empat kali pulang pergi.

"Untuk belanja papan saja saat ini Rp 1,2 juta per kubik. Sementara punya saya kalau lantai saja itu bisa 3 kubik lebih. Kalau papan untuk dinding satu kubik, kemudian atap itu kita beli per lembar saat itu Rp 3 ribu dengan jumlah 300 lembar," kata Siani merinci perhitungan.

Hal senada dikatakan Haji Hasim, salah satu warga kampung nelayan yang sudah empat tahun menetap di Pulau Daga Kecil. Ia sengaja menatap di pulau tersebut setelah pensiun sebagai PNS.

"Saya memilih menetap di pulau ini dengan membangun rumah, namun rumah saya dibongkar dengan janji sebelum dibongkar dibangun di lokasi yang lain," kata Hasim.

Mantan Kepala Puskesmas Gane Luar ini menambahkan, perjanjian dibangun kembali rumah miliknya itu disampaikan pemerintah provinsi melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Pemukiman. Tetapi hingga kini, tidak dibangun.

"Sehingga kami harus membuat rumah darurat berdinding papan, beratap terpal dan beralaskan tanah," kata Hasim.

Lelaki paru baya yang kesehariannya bekerja sebagai nelayan dan penjual ikan asin itu, mengisahkan kehidupannya setelah rumahnya dibongkar oleh pemerintah daerah setempat, setiap malam harus tidur beralaskan tikar dengan menahan udara dingin.

"Kalau siang hari harus tinggal di bawah pohon kerena sebagian atap rumah belum terpasang atap," ucap dia.

Atas keluhan warga pulau yang tergusur, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba berdalih kebijakan yang dilakukan pemerintah kabupaten dan provinsi terhadap warga kampung nelayan Pulau Daga Kecil hanya untuk menjaga kelestarian Widi sebagai daerah destinasi wisata.

Menurut politikus PKS itu, bahwa wilayah Kepulauan Widi tidak berpenghuni. "Mereka hanya datang mangael (memancing) di sini (perairan Widi) kemudian bermalam lalu kembali lagi ke desa di Kecamatan Gane Barat Selatan," ujarnya.

Bagi Gani, uang ganti rugi sebesar Rp 10 juta sudah lebih dari cukup. "Siapa yang bilang tidak cukup. Itu kan sudah lebih," kata dia.

Gani juga mengatakan rumah-rumah itu terpaksa dibongkar karena tidak layak huni. "Itu rumah hanya rumah kebun, yang pakai papan kemudian ditaruh atap (anyaman dari daun rumbia). Sehingga dibongkar supaya dibangun lagi rumah yang lebih layak," kata Gani.

"Jadi saya mau supaya rumah-rumah mereka itu jangan rumah kebun. Juga tidak ada pengusiran, karena memang mereka ada di sini itu karena untuk mencari hidup," dia menambahkan.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya