Liputan6.com, Cirebon - Cirebon menggelar pesta demokrasi di tingkat desa Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Warga setempat menyebutnya Pemilihan Kuwu (Pilwu). Terhitung 101 desa di Kabupaten Cirebon menggelar pilkades atau pilwu secara serentak.
Seperti umumnya pilkada, calon kuwu melakukan berbagai manuver politik mereka untuk mengambil simpati warganya, termasuk menggunakan jasa dukun dalam upaya memenangi suara pada pemilihan tersebut.
Sejak Sabtu, 28 Oktober 2017, proses pilkades semakin panas. Bukan hanya rentan ricuh, dalam pemilihan kuwu tersebut dipenuhi suasana magis. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa Suranenggala, Kecamatan Suranengala, Kabupaten Cirebon. Di desanya, warga selalu menggelar ritual yang oleh masyarakat setempat disebut Damar.
Baca Juga
Advertisement
Dalam ritual Damar sendiri semua calon kuwu membakar kemenyan lengkap dengan sesajen yang disediakan di suatu ruangan. Calon kuwu juga biasanya memiliki dukun pilihan sendiri untuk menggelar ritual tersebut. Ritual tersebut dilakukan tiap malam sebelum pemilihan.
"Hal itu juga bisa menjadi media gaib. Kuwu yang akan menang biasanya ditandai dengan nyala api yang lebih besar dibanding yang lain," ujar Sadidin, warga Desa Suranenggala yang Suranenggala Kabupaten Cirebon, Senin, 30 Oktober 2017.
Tradisi Kiat Damar dalam setiap pemilihan kepala desa tersebut tidak lepas dari sejarah asal muasal pemilihan kepala desa. Sejarawan Cirebon Nurdin M. Noor menyebutkan, pemilihan kuwu atau kepala desa menjadi ajang pemilihan pemimpin di desa yang sangat riuh.
Kuwu, kata dia, asal kata dari bahasa Sansekerta dengan padanan kata dari Cakradara, berarti 'penguasa setingkat adipati; pada awalnya. Seperti Akuwu Tunggul Ametung di Singosari.
Sementara di Cirebon disebut Kuwu sejak sebelum abad ke-14 Masehi. Dari catatan sejarah, pemilihan Kuwu di Cirebon lebih dulu berlangsung dibandingkan dengan pemilihan Presiden Amerika Serikat.
Nurdin menyebutkan, pemilihan kepala desa pertama di Cirebon dilakukan sejak tahun 1604 dengan model pemilihan One Man One Vote, sementara pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1774 dengan dipilih langsung oleh lembaga pemilihan umum.
"Jadi kalau ada yang bilang demokrasi kita meniru gaya Barat, saya kira keliru. Dari model pemilihan pemimpinnya saja lebih dulu kita di Indonesia, tepatnya Cirebon," ujar Nurdin kepada Liputan6.com, Selasa (31/10/2017).
Rata-rata para kuwu berkuasa selama belasan tahun, dipilih berdasarkan ilmu, akhlak dan tanggung jawabnya. Pemilihan kuwu sebelum Belanda berkuasa diserahkan kepada masyarakat dan mendapat restu Sultan. Saat Belanda berkuasa penuh, harus mendapat restu Belanda.
"Pada akhir abad 19 atau awal abad 20 kemungkinan kuwu mulai dipilih secara langsung, bebas dan rahasia oleh masyarakat di kotak suara," kata dia.
Kotak suara pada masa pemilihan kuwu berupa bumbung bambu. Setiap pemilih mendapat sebuah koin atau biting kayu yang dimasukkan ke dalam bumbung kuwu yang mengikuti pemilihan. Calon kuwu dibungkus dengan kain berwarna tertentu sebagai lambang kuwu pilihannya.
"Inilah perubahan dari musyawarah mufakat para pemuka desa, menjadi pemilihan langsung oleh seluruh masyarakat. Sementara untuk kuwu yang sudah tidak menjabat disebut kuwu manten, berdasarkan kaidah bahasa Sunda.
Kisah Kuwu Kubang Deleg
Nurdin menyebutkan, Kubang Deleg, adalah nama sebuah desa di Kecamatan Karang Wareng Kabupaten Cirebon yang memiliki catatan silsilah pemerintahan para kuwu terlengkap di Kabupaten Cirebon. Desa ini diperkirakan berdiri pada seperempat terakhir abad 16, dan mulai memilih kuwunya pada awal abad 17, yakni tahun 1604, pada masa puncak kejayaan Kerajaan Cirebon.
Desa Kubang Deleg didirikan oleh delapan orang, yakni Buyut Nurjan dari Kubang Kelor (sekarang Karang Mekar), Ki Buyut Gareng (Desa Krapyak), Buyut Pego (dari Desa Erpah), Buyut Jabrig (Leuwi Lawang), Buyut Brewes (Cigabug – Wanasaraya), Buyut Dungkul (Karang Wareng), Buyut Katolik (Cibanban) dan Buyut Kulur (Martapada).
Kedelapan pendiri desa tersebut bermusyawarah di tanah Sungging Curug untuk membentuk wilayah pedukuhan yang sangat luas. Pembuat batas adalah Buyut Nurjan, perencana pemukiman Buyut Karsilem (anak Buyut Nurjan), pemukiman ini kemudian dinamakan Kubang Putat.
Munculnya nama Kubang Deleg terjadi setelah adanya sayembara untuk menikahi putri Buyut Karsilem, yang digelar di tengah kubangan yang berisi sejenis ikan gabus besar. Sayembara tersebut diperkirakan awal 1604 dan dimenangkan oleh seorang jawara bernama Syamsuddin dari Tambelang.
Setelah Buyut Karsilem menikahkan pemenang Sayembara dengan putrinya, warga bermusyawarah untuk memilih kepala dukuh. Secara aklamasi Ki Syamsuddin lah yang terpilih dan nama kampung diubah menjadi Kubang Deleg.
"Ki Syamsuddin menjadi kuwu selama 15 tahun, itu terjadi pada masa Pemerintahan Panembahan Ratu I," kata dia.
Advertisement