Rahasia Mantra Topeng Losari yang Bikin Orang Tak Bisa Lapar

Para penari Topeng Losari, selalu merasakan energi dari mantra yang diucapkan.

oleh Panji Prayitno diperbarui 06 Nov 2017, 20:00 WIB
Klana Bandopati Srawung Candi. Foto: (Panji Prayitno/Liputan6.com)

Liputan6.com, Cirebon - Bagi para seniman atau maestro Topeng Losari Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menari adalah doa. Karena itu, para penari topeng wajib melakukan ritual sebelum menari.

Dalam ritual tersebut, penari diwajibkan membaca mantra berupa doa-doa yang ditulis dalam huruf aksara Jawa kuno. Sebagai pengantar, mantra yang akan dibacakan, ditulis di bagian dahi di topeng yang berusia 400 tahun itu.

"Mantra itu tidak bisa diberitahu kepada yang lain karena hanya dalang saja yang tahu. Tapi, yang pasti, mantra itu bukan bacaan Arab, melainkan bahasa Jawa kuno," kata generasi ketujuh seniman Topeng Losari, Nuranani M. Irman (40), Minggu, 5 November 2017.

Dia mengatakan, dalam Topeng Losari, para penari topeng banyak diajarkan tirakat. Tujuannya, lanjut perempuan yang akrab disapa Nani tersebut agar melatih konsentrasi dan membiasakan perut untuk menahan lapar.

Sementara itu, lanjut Nani, ukuran topeng dengan wajah penari selalu tidak sama. Namun, bermodal keyakinan, para penari topeng seakan mendapat energi ketika menari.

"Bayangkan saja bagian mata topeng pas dipakai malah adanya di pipi saya. Sedangkan bagian hidung tidak pas. Jadi topeng itu kalau dipakai rasanya pengap tidak bisa melihat dan aroma kayu cendananya harus kita hirup. Tapi, kita dapat energi di situ dari bacaan mantra seolah ada yang menunjukkan arah yang tepat saat menari," kata dia.

Dia mengatakan pula, para penari topeng yang sudah melewati masa sulit sebelum dinobatkan sebagai penari meyakini topeng yang dipakainya memiliki energi. Nani menuturkan, setiap menari, meski memakai topeng yang gelap, dia tetap merasakan terang dan tenang setiap menari.

Dia meyakini, mantra atau doa yang dibacakan sebelum menari membantu penari menuntun ke arah yang tepat di atas panggung. Dia mengaku, dalam setiap menari, penonton tidak bisa memprediksi arah penari, namun tetap menikmati.

"Mantra itu sangat membantu kita para penari. Bentuknya cahaya seperti kunang-kunang membantu kita membawa ke arah di antara panggung dan tidak membelakangi kotak topeng. Makanya, tiap saya menari gerakan dan posisi tidak pernah sama karena saya mengikuti insting dan energi yang keluar dari mantra itu," ujar dia.

Namun demikian, kata Nani, cahaya yang muncul dari dalam Topeng Losari tersebut diyakini sebagai bagian dari diri manusia (kodam) dalam bentuk gaib.

"Jadi saat nyambat sebelum menari kita panggil kodam sembilan wali, manunggaling kawula gusti, kodam nenek moyang kita, baru kodam kita sendiri. Nah ketika kita yakin dengan Allah maka pasti kita akan dituntun dalam hidup ke arah yang lebih baik," ujar dia.

Dalam setiap perjalanannya menari Topeng Losari, dia juga berdoa agar masyarakat penikmat seni lebih tahu tradisi dan menghargai sejarah. Menurut Nani, tradisi dan sejarah yang disampaikan lewat cerita tutur bukan hal yang patut disepelekan.

"Itu semua saya dapat dari nenek saya sang maestro ketika masih hidup. Beliau selalu cerita di setiap saya ingin tidur atau latihan menari dan memang tidak ada di buku. Tradisi tidak ada yang sepele dan yang ringan itu seni kontemporer karena hanya bermodal olah tubuh," ujar dia.


Warisan Leluhur

Nani Topeng - Klana Bandopati gaya Galeong atau kayang. Foto: (Panji Prayitno/Liputan6.com)

Topeng Cirebon adalah salah satu warisan leluhur masyarakat pantura Jawa Barat yang masih terus dilestarikan. Bahkan, di setiap wilayah, memiliki ciri khas dan cerita sejarah tersendiri mengenai Topeng Cirebon.

Salah satunya adalah Topeng Losari, kesenian yang ada di ujung timur Cirebon ini berbeda dengan topeng yang ada di Kecamatan Slangit, Gegesik, Kreyo, Kabupaten Majalengka, Kalianyar, Palimanan, dan Kabupaten Indramayu. Para pegiat topeng pun biasa dipanggil dengan sebutan Dalang Topeng.

Generasi ketujuh Dalang Topeng Losari, Nuranani M. Irman (40) mengaku, hingga saat ini, semangat pelestarian warisan budaya tersebut terlihat semangat sang maestro topeng legendaris Mimi Dewi dan Sawitri mengenalkan Topeng Losari keluar. 

Bahkan, kata dia, hingga saat ini, wanita yang akrab disapa Nani itu masih sering memakai topeng yang diwariskan turun-temurun. Usia topeng yang diwariskan kepada Nani hampir mendekati 400 tahun. 

"Terhitung sejak pertama kali dibuat oleh Panembahan Losari abad ke-17 sampai ke saya masih bisa dipakai," kata dia kepada Liputan6.com, Minggu, 5 November 2017.

Secara keseluruhan, kata Nani, Topeng Jawa diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai bagian dari media menyebarkan syiar Islam. Namun, di Losari, Kabupaten Cirebon, topeng tersebut disempurnakan oleh Pangeran Losari yang merupakan cicit dari Sunan Gunungjati sekitar abad ke-17 Masehi. 

Sementara, dalam proses pembuatannya, Pangeran Losari tidak pernah beranjak dari tempatnya menyempurnakan topeng-topeng Losari itu. 

"Secara keseluruhan jumlah Topeng Losari ada 180. Kalau di Cirebon topengnya 5 wanda di Losari ada 10 wanda dan itu semua satu kesatuan berasal dari Topeng Panji," ujar dia.

Dia pun tidak mengetahui secara rinci bagaimana Pangeran Losari membuat dan menyempurnakan topeng warisannya itu. Dari pengamatan Liputan6.com, Nani sempat mengeluarkan dua topeng, Kelana dan Panji Losari. 

Meski usianya ratusan tahun, topeng tersebut masih tetap terjaga dan terawat. Hanya beberapa bagian saja di antara Topeng Kelana guratan kayunya sudah patah. 

Di balik topeng, tepatnya bagian dahi, terdapat tulisan aksara Jawi kuno yang hanya diketahui oleh dalang topeng itu sendiri. Namun, tulisan aksara Jawi yang dijadikan mantra tersebut diyakini dapat menuntun penari Topeng Losari menyikapi hidup.

Di antara kedua topeng legendaris itu, terdapat satu buah pancarita atau keris yang diyakini sebagai salah satu sumber energi bagi dalang topeng setiap memperlihatkan tari sesuai karakter topengnya.

"Biasanya kita ruwat dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Dicuci pakai air doa. Tiap satu topeng atau wanda berbeda kerisnya karena itu juga energi yang menuntun kita menari di atas panggung sesuai karakter topengnya itu sendiri," ujar dia.

Sementara itu, lanjut Nani, sebelum dipakai, penari topeng terlebih dahulu harus membaca mantra. Petunjuk mantra pun ada di balik topeng yang dipegangnya dan setiap topeng memiliki bacaan mantra yang berbeda.

"Mantra ini berbeda tapi saling berkaitan makannya dulu setiap pementasan topeng pasti membutuhkan waktu yang lama karena manteranya juga menimbulkan energi. Kalau zaman sekarang berarti ada mantera yang terpotong dan pasti imbasnya kepada penari itu sendiri," ujar dia.

 


Menari Adalah Berdoa

Topeng Losari Nani. Foto: (Panji Prayitno/Liputan6.com)

Jika di Cirebon maupun daerah lain di Pulau Jawa, memaknai Tari Topeng sebagai bagian dari syiar Islam pada zaman Wali Songo. Di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, penampilan Tari Topeng lebih kepada proses ritual.

Menurut Nani, ritual dalam Tari Topeng Losari sama dengan berdoa dan agar lebih mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, kata dia, mantra yang dibacakan penari merupakan bagian dari doa.

Dalam setiap pementasan topeng, dalang topeng membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum naik panggung.

Hal ini dikarenakan ada satu kewajiban yang harus dijalankan penari sebelum menari dan menggunakan Topeng Losari, yakni menyambat. 

"Seperti kita sedang yoga. Saat akan mentas terlebih dahulu nyambat membaca mantra dari awal mau menari menuju setelah menari. Sambatan dilakukan wajib sebelum dalang topeng menari di atas panggung," ujar dia.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya