Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) akan mengubah area rawa menjadi lahan pertanian di 2018. Hal tersebut menjadi bagian dari program cetak sawah guna meningkatkan lahan pertanian di dalam negeri.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, area rawa yang akan digarap di tahun depan berada di Sumatera Selatan dan Kalimantan.
"Di 2018, rencana kami ada yang menarik sekarang. Kita menggarap swamp land, lahan pasang surut seperti, yang terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan," ujar dia di Kantor Kementan, Jakarta, Senin (6/11/2017).
Baca Juga
Advertisement
Dia menargetkan, ada sekitar 500 ribu hektare (ha) areal rawa yang akan digarap dan dijadikan lahan persawahan dalam program ini. Sebagai tahap awal, akan digarap sekitar 1.000 ha terlebih dulu.
"Itu dulunya rumput, kita coba 1.000 ha. Dulunya banjir, naik perahu ke sana, tetapi 1.000 ha jadi produktif. Di sana ada 500 ribu ha, ini kita garap," kata dia.
Amran Sulaiman menuturkan, setiap satu hektare lahan akan menghasilkan 6 ton-8 ton gabah sehingga dari 500 ribu ha tersebut ditargetkan bisa memberikan tambahan empat juta ton gabah dan panen tiga kali dalam setahun.
"Katakan lah 500 ribu ha. Itu (per hektare) 6 ton atau 8 ton, 500 ribu kali 8 ton, itu 4 juta ton. Kalau kali tiga (panen), itu 12 juta ton tambahan gabah. Ini luar biasa biasa, tadinya nol jadi panen tiga kali," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Capaian Sektor Pertanian dalam 3 Tahun
Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan Mukti Sardjono menjelaskan, selama tiga tahun, yaitu 2015 hingga 2017, kerja keras Kementerian Pertanian dalam membangun sektor pangan dan pertanian telah membuahkan hasil. Antara lain, kata dia, adalah produksi pangan strategis meningkat secara signifikan.
"Pada 2017, produksi padi 81,5 juta ton naik 15,1 persen, jagung 26 juta ton naik 36,9 persen, aneka cabai 1,9 juta ton naik 1,5 persen, dan bawang merah 1,42 juta ton naik 15,3 persen dibandingkan tahun 2014," ujar Mukti dalam keterangan tertulis, Jumat 3 November 2017.
Sejak 2016, Indonesia tidak impor beras medium dan cabai segar. Sementara pada 2015, Indonesia masih impor 1,5 juta ton, sehingga bisa menghemat devisa Rp 8,1 triliun. Pada 2016, Indonesia mampu menurunkan impor jagung 61 persen dan pada 2017 Indonesia tidak impor jagung untuk pakan ternak, sehingga menghemat devisa Rp 10,6 triliun.
"Capaian pembangunan pangan dan pertanian di atas bukan tidak menghadapi kendala dan permasalahan. Salah satu permasalahan yang memerlukan upaya khusus untuk memecahkannya adalah serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), di antaranya tikus, wereng batang cokelat, dan lainnya," kata Mukti.
Selain itu, dampak dari perubahan iklim dan lingkungan menyebabkan meningkatnya luas penyebaran dan intensitas serangan OPT yang harus diantisipasi sejak dini agar tidak berakibat fatal terhadap capaian produksi pangan strategis.
"Jika serangan OPT telah terjadi, diperlukan upaya khusus untuk pengendalian secara terpadu yang didukung upaya integrasi, sinergi, dan koordinasi yang intensif dalam penanggulangannya," paparnya.
Mukti menjelaskan, beberapa langkah untuk mengantisipasi dan menangani serangan OPT, antara lain penyediaan dan penyaluran bantuan input produksi petani yang gagal panen akibat puso, pemberian asuransi pertanian, perluasan penggunaan inovasi teknologi budidaya tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim dan serangan OPT.
"Juga ada pengendalian hama dan penyakit terpadu melalui brigade proteksi tanaman, penyediaan sarana dan prasarana pengendalian OPT, dan peningkatan kapasitas pengendalian OPT dan pengamat hama dan penyakit tanaman (POPT-PHP)," kata Mukti.
Advertisement