Liputan6.com, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menyatakan tidak akan menaikkan iuran untuk menutupi defisit. Lantaran akan dicarikan sumber dana lain untuk menutupi kekurangannya.
Diretur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, seharusnya ada keseimbangan antara pendapatan dari iuran dan pengeluaran. Namun belum ada pilihan menaikkan iuran peserta BPJS untuk menutupi defisit.
"Kalau bicara pendapatan strukturnya adalah iuran. Untuk iuran ini kita tadi bicara tidak ada opsi untuk menaikkan iuran," kata Fachmi, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang PMK, Jakarta, Senin (6/11/2017).
Baca Juga
Advertisement
Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, untuk menutupi defisit, BPJS Kesehatan harus dilakukan pembenahan terlebih dahulu, baik pada sisi operasional BPJS kesehatan sendiri agar lebih efisien.
"Penetapan iruan selama ini berkaitan dengan historis dianggap sesuai daya beli masyarakat. Kita selalu hati-hati karena pemerintah tidak ingin tujuannya untuk menyelesaikan satu masalah menimbulkan maslah lain lagi. Bahkan sebelum bicara iuran membebani masyarakat ada tata kelola di dalam dan efisiensi bisa diperbaiki," papar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menuturkan, jika memang iuran harus dinaikkan, pihak BPJS kesehatan telah terbukti melakukan pembenahan terlebih dahulu, sehingga tidak menciptakan keresahan di kalangan peserta BPJS kesehatan.
"Kalau semua sudah dilakukan, rakyat tahu kita pemerintah lakukan aspek maksimal, kalau dibutuhkan kontribusi masyarakat tetap ada kenaikan, tetapi semua proses telah dijalankan. Kalau sebelumnya terjadi masyarakat bertanya ketidak sustainabilitas di mana apakah iuran atau masalah strategi BPJS perlu diperbaiki," tutur Sri Mulyani.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BPJS Kesehatan Berpotensi Defisit Rp 9 Triliun
Sebelumnya, BPJS Kesehatan berpotensi mengalami defisit pendanaan (mismatch) untuk pembayaran klaim peserta sebesar Rp 9 triliun pada tahun ini. Hal tersebut salah satunya disebabkan kekurangan bayar iuran para pesertanya.
Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi menjelaskan, dari perhitungan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), terdapat selisih pembayaran iuran sebesar Rp 13 ribu per peserta. Sementara, jumlah peserta pada kategori tersebut mencapai 92,4 juta jiwa.
"Dari hasil perhitungan, PBI itu bayar Rp 23 ribu, harusnya dibayar Rp 36 ribu. Itu sudah selisih Rp 13 ribu. Bayangkan Rp 13 ribu dikali 92,4 juta jiwa," ujar dia.
Selain itu, defisit tersebut juga disumbang oleh kekurangan bayar iuran peserta bukan penerima upah (PBPU). Selisih pembayaran iuran di kategori ini bahkan diperkirakan lebih besar lagi.
"Itu dari selisih PBI, saja belum dari PBPU. Kelas I itu Rp 81 ribu per bulan, tetapi kelas II ini hanya Rp 51 ribu seharusnya (bayar) Rp 68 ribu, berarti selisih Rp 17 ribu. Kemudian kelas III yang seharusnya itu Rp 53 ribu hanya dibayar Rp 25.500," kata dia.
Bayu menuturkan, perhitungan mismatch ini bukan hanya berasal dari BPJS Kesehatan ini, tetapi juga dari kementerian dan lembaga lain seperti Kementerian Keuangan.
"Bayangkan ini sudah diperhitungkan dari perhitungan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) kemudian, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BPJS," ujar dia.
Advertisement