Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Ketua DPR Setya Novanto tak membawa-bawa nama Presiden Jokowi. Pernyataan tersebut muncul lantaran Setjen DPR mengirim surat menjelaskan ketidakhadiran Novanto pada KPK.
Surat itu menyatakan pemeriksaan pada Novanto sebagai saksi dalam proses penyidikan harus terlebih dulu meminta izin presiden. Terkait hal itu, KPK melalui juru bicaranya, Febri Diansyah, pun bereaksi.
Advertisement
"Bagi KPK sebenarnya, pelaksanaan tugas yang kita lakukan sebaiknya dilakukan di koridor hukum, dan presiden punya tugas jauh lebih besar. Jangan sampai ketika itu tidak diatur, presiden juga ditarik-tarik pada persoalan ini," ujar Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (6/11/2017).
Selain itu, ia juga berharap semua pihak, termasuk Setya Novanto dan Plt Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Damayanti, tak mempersulit lembaga antirasuah dalam menangani kasus dugaan korupsi.
"Sejauh ini kami harap semua pihak tidak mempersulit penanganan perkara di KPK. Kami sampaikan ke semua pihak," ucap Febri.
Dia mengatakan, penyidik KPK belum mengetahui apakah surat ketidakhadiran Setya Novanto yang dikirim Setjen DPR berdasarkan mandat dari Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Surat tersebut menurut Febri hanya ditandatangani Plt Sekjen dan Badan Keahlian DPR.
"Sampai sore ini kalau memang ada pemberitahuan resmi dari yang bersangkutan sebagai saksi, atau kuasa hukum masih kami tunggu," Febri menjelaskan.
Berlindung pada UU MD3
Menurut Febri, salah satu alasan ketidakhadiran Setya Novanto lantaran pria yang kerap disapa Setnov tersebut berlindung pada UU MD3.
"Setya Novanto yang ketua DPR tak bisa memenuhi panggilan untuk hadir sebagai saksi karena mengacu pada UU MD3 dan putusan MK yang menurut surat tersebut mewajibkan penyidik meminta izin presiden terlebih dahulu,” kata dia.
Dalam pasal tersebut, yakni Pasal 254 ayat 1 UU No 17 Tahun 2014 tengang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mengatur, 'Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan'.
Selanjutnya, pada Pasal 245 ayat 3 UU MD3 diatur ketentuan, pada ayat 1 tidak berlaku bila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, dan disangka melakukan tindak pidana khusus.
Saksikan Video Pilihan di Bawah ini
Advertisement