Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi diduga kembali mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama Ketua DPR Setya Novanto.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Liputan6.com, Senin 6 November 2011, surat SPDP bernomor B619 23/11/2017 itu dikeluarkan pada Sabtu 3 November 2017 dan ditandatangani oleh Direktur Penyidikan KPK, Aris Budiman.
Advertisement
Dokumen tersebut menyebut bahwa penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional, telah dimulai sejak 31 Oktober 2017.
Sejauh ini belum ada keterangan resmi dari pimpinan KPK. Dalam dokumen SPDP tersebut, Setya Novanto diduga bersama-sama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan Sugiharto, selaku pejabat pembuat komitmen Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri melakukan dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001.
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan saat ini belum keluar SPDP untuk Setya Novanto.
"Belum ada. Kita masih fokus di lima orang ini dan juga perbuatan kontruksi penanganan perkara. Di sidang kan kita sedang ajukan saksi dan bukti-bukti," kata dia di Gedung KPK, Senin (6/11/2017).
Pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi pun heran surat rahasia tersebut bisa tersebar. "Saya juga belum tahu. Itu kan SPDP. Saya juga belum pernah terima," ujar Yunadi ketika dihubungi Liputan6.com.
Oleh karena itu, dia meragukan kebenaran surat tersebut. Jika SPDP itu benar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti akan mengumumkannya secara resmi.
"Kalau memang itu benar, pasti panggil wartawan. Itu kan kategori rahasia kan?" kata Yunadi.
Namun, ketika KPK mengklarifikasi SPDP tersebut benar, pihaknya akan mengambil langkah hukum.
"Saya tidak akan mengatakan andai-andai. Tapi kalau ada, kami akan mengambil langkah hukum. Kita ikuti sistem hukum yang berlaku," ujar Yunadi.
Perjalanan Kasus Setya Novanto
Sebelumnya, Setya Novanto disebut menerima jatah Rp 574 miliar dari total nilai pengadaan e-KTP. Hal itu terungkap dalam dakwaan jaksa pada KPK terhadap dua terdakwa mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
"Setya Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong mendapat bagian sebesar 11 persen, atau sejumlah Rp 574,2 miliar," ujar jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Atas dasar inilah KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
"Saudara SN (Setya Novanto) melalui AA (Andi Narogong), diduga memiliki peran baik dalam proses perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR dan proses pengadaan barang dan jasa e-KTP," kata dia.
Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun, sangkaan itu dianulir hakim.
Namun, Setya Novanto mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Hakim Cepi Iskandar membacakan putusan sidang praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 29 September 2017 sore.
Cepi menyatakan, status tersangka yang ditetapkan oleh KPK terhadap Setya Novanto tidak sah.
Menurut dia, penetapan tersangka terhadap ketua DPR RI ini menyimpang karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement