Liputan6.com, Jakarta - Secarik surat berkop Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beredar di kalangan wartawan. Surat itu merupakan pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan ditujukan kepada Ketua DPR Setya Novanto.
Kaget dan geram. Pengacara Setya Novanto mempertanyakan asal-muasal surat bernomor B-619/23/11/2017 tersebut.
Advertisement
Dia meragukan kebenaran surat itu. Sebab, jika SPDP itu benar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti akan mengumumkannya secara resmi.
"Kalau memang itu benar, pasti panggil wartawan. Itu kan kategori rahasia kan?" kata Yunadi ketika dihubungi Liputan6.com, Senin 6 November 2017.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Liputan6.com, surat itu dikeluarkan pada Sabtu 3 November 2017.
Dokumen itu menyebut, penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional telah dimulai sejak 31 Oktober 2017.
Setya Novanto sendiri tidak hadir dalam pemeriksaan kasus e-KTP di KPK kemarin. Dia beralasan KPK tidak menyertakan izin Presiden dalam surat pemanggilannya. Alasan ini pula yang dipakai Yunadi untuk membela kliennya.
Dia memakai Undang-Undang MD3 sebagai dasarnya. Padahal, dalam amar putusan MK pada 2015, pasal tersebut tidak berlaku untuk tindak pidana khusus seperti korupsi.
"Harus seizin Presiden. Kan di situ sudah tertuang pada Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatakan harus mendapat izin tertulis dari Presiden Jokowi," ujar Yunadi.
Yunadi mengatakan, ketika KPK mengklarifikasi SPDP tersebut benar, pihaknya akan mengambil langkah hukum.
"Saya tidak akan mengatakan andai-andai. Tapi kalau ada, kami akan mengambil langkah hukum. Kita ikuti sistem hukum yang berlaku," ujar Yunadi.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, enggan menanggapi hal tersebut. Febri hanya menjawab dengan emoticon senyum kepada Liputan6.com.
Sementara terkait SPDP, dia mengatakan, belum ada surat yang dikeluarkan penyidik atas Setya Novanto.
"Belum ada. Kita masih fokus di lima orang ini dan juga perbuatan konstruksi penanganan perkara. Di Sidang kan kita sedang ajukan saksi dan bukti-bukti," ujar Febri ketika dikonfirmasi, Jakarta, Senin 6 November 2017.
Bukti Rekaman
Belum aman. Meski Setya Novanto memenangkan gugatan praperadilan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih bisa menetapkannya sebagai tersangka.
Terlebih, pada persidangan kasus e-KTP Jumat 3 November 2017, nama Ketua DPR Setya Novanto kembali disebut menerima uang terkait proyek itu. Hal tersebut terungkap dari rekaman pembicaraan antara Direktur Biomorf Lone LLC Johannes Marliem dan Direktur Utama PT Quadra Solutions Anang Sugiana Sudihardjo.
Anang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong. Sedangkan Johanes Marliem sudah meninggal di kediamannya di Amerika Serikat. Johanes Marliem disebut memiliki rekaman hingga ratusan gigabyte terkait keterlibatan Setnov.
"Si jatahnya si Asiong yang di tempat gue, itu kan dikasih ke si S," ujar Anang kepada Johanes Marliem dalam rekaman tersebut.
Kemudian, Jaksa KPK Abdul Basir langsung mengkonfirmasi kepada Anang. Berdasarkan pengakuan Anang, Asiong merupakan nama lain Andi Narogong sementara S merupakan Setya Novanto.
"Asiong itu Andi?" tanya Jaksa Basir.
"Betul," kata Anang.
Anang mengaku, pada saat itu dia memberitahu Johanes Marliem terkait jatah fee Setnov ditanggung oleh PT Quadra Solution.
"Ya saya ngomong begitu bukan kasih ke Andi, saya kasih tahu ke Marliem bahwa saya juga punya beban," kata dia.
Menurut Anang, Marliem mengeluh harus menanggung beban besar membagi-bagikan fee dalam proyek e-KTP.
"Iya seperti saya bilang tadi," kata Anang.
Advertisement
Jemput Paksa
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Fariz Fachryan mengatakan, KPK bisa mengupayakan jemput paksa jika Setya Novanto mangkir kembali dalam pemeriksaan.
"Sehingga KPK dapat melakukan upaya paksa apabila Setya Novanto mangkir dalam pemeriksaan," ujar Fariz saat dikonfirmasi Liputan6.com, Senin (6/11/2017).
Menurut dia, pemanggilan terhadap Ketua Umum Partai Golkar oleh penyidik KPK tidak harus melalui surat izin dari Presiden Republik Indonesia.
"Saya pikir alasan Setya Novanto keliru bahwa pemeriksaan dirinya harus izin Presiden," kata Fariz.
Dia menuturkan, pemeriksaan terhadap anggota DPR dalam dugaan tindak pidana korupsi tidak harus melalui izin presiden. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Karena pengecualian izin tertulis presiden tersebut adalah disangka melakukan tindak pidana khusus. Sedangkan korupsi merupakan tindak pidana khusus, jadi tidak memerlukan izin presiden," ujar Fariz.
Saksikan video pilihan di bawah ini: