Liputan6.com, Jakarta - Terbongkarnya dokumen Paradise Papers menjadi momentum bagi pemerintah untuk menegakkan sistem perpajakan. Dokumen sebanyak 13,4 juta file ini memuat berbagai informasi tentang pendirian perusahaan, kontrak bisnis, perjanjian-perjanjian rahasia, skema, dan praktik penghindaran pajak.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menerangkan, kini pemerintah bisa memanfaatkan data tersebut secara optimal. Belajar dari pengalaman sebelumnya, pemerintah dinilai kurang optimal memanfaatkan data Panama Papers karena bersamaan dengan penerapan Program Pengampunan Pajak atau (tax amnesty).
"Kini pemerintah mendapatkan momentum untuk menindaklanjuti data di Paradise Papers secara tuntas. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat, dukungan politik yang kuat, peran aktif masyarakat, dan penegakan hukum yang objektif, adil, dan transparan," jelas dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Baca Juga
Advertisement
Dia menerangkan, dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017, tidak ada alasan untuk tidak melakukan penegakan hukum terhadap setiap warga negara yang melaporkan pajaknya dengan tidak benar.
"Pemerintah telah berbaik hati memberi pengampunan kepada wajib pajak yang selama ini tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar," sambungnya.
Menurutnya, data dan informasi yang diungkap di Paradise Papers dapat menjadi salah satu sumber informasi yang dapat ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dia bilang, perlu dilakukan profiling, analisis, dan tindak lanjut yang profesional, kredibel dan transparan, demi memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu sehingga memenuhi rasa keadilan publik.
"Proses seyogianya tetap didasari praduga tak bersalah karena penggunaan tax havens tidak serta-merta merupakan penghindaran pajak yang melawan hukum. Setiap pihak yang namanya terdapat dalam daftar dan kewajibannya sudah ditunaikan berhak mendapatkan rehabilitasi. Namun, setiap tindakan penggelapan pajak yang terbukti dengan sengaja dilakukan adalah tindak pidana yang harus dihukum dan didenda setinggi-tingginya," jelas dia.
Yustinus menambahkan, peristiwa ini juga mesti dijadikan pelajaran untuk segera memperkuat Undang-Undang Perpajakan dan aturan teknis lainnya.
"Memperbaiki administrasi yang berbasis teknologi informasi, meningkatkan kerja sama, dan kompetensi dan integritas aparatur sehingga mampu menangkal praktik penghindaran pajak, mendukung pemungutan pajak yang efektif, dan mendorong kepatuhan pajak yang tinggi," tukas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Investigasi 100 media
Untuk diketahui, dokumen keuangan dalam skala besar, jumlahnya sekitar 13,4 juta, bocor ke publik. Bocoran yang dinamakan Paradise Papers (Dokumen Surga) mengungkap mengungkapkan bagaimana orang superkaya, termasuk Ratu Elizabeth, diam-diam berinvestasi di luar negeri, di mana surga pajak (tax haven) berada.
Seperti halnya Panama Papers, dokumen-dokumen tersebut didapat surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung, yang kemudian meminta International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) untuk melakukan investigasi secara lebih rinci.
BBC Panorama dan Guardian termasuk dalam 100 lebih media yang menginvestigasi dokumen-dokumen tersebut.
Sejumlah dokumen yang telah dibocorkan pada Minggu, 5 November 2017 baru sebagian kecil, yang mengungkap skandal pajak dan keuangan -- dari ratusan orang dan perusahaan yang namanya disebut dalam data.
Sejumlah pelaku bisnis terbesar di dunia, kepala negara, dan tokoh global dalam bidang politik, hiburan, dan olahraga diduga kuat melindungi kekayaan mereka di tempat-tempat rahasia, dengan memanfaatkan tax havens (suaka/surga pajak) di sejumlah negara.
Seperti dikutip dari BBC, Senin (6/11/2017), selain Ratu Elizabeth juga ada nama menteri perdagangan dalam kabinet Presiden Donald Trump, Wilbur Ross, yang disebut memiliki saham di perusahaan yang melakukan transaksi dengan pihak Rusia yang dikenai sanksi oleh Amerika Serikat. Presiden Kolombia, Juan Manuel Santos juga ada dalam daftar.
Selain itu, pembantu dekat PM Kanada juga dikaitkan dengan skema offshore yang berpotensi merugikan jutaan dolar uang negara dari pajak. Skandal itu mengancam bakal mempermalukan Justin Trudeau, yang saat kampanye menjanjikan penutupan surga-surga pajak (tax haven).
Stephen Bronfman, yang namanya disebut dalam Paradise Papers, adalah ketua penggalang dana kampanye Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.
Adapun seperti dikutip dari Haaretz, nama sejumlah figur dari Indonesia juga masuk di dalamnya.
ICIJ kemudian mengunggah sejumlah laporan awal dari dokumen tersebut dalam laman elektronik mereka offshoreleaks.icij.org. Organisasi itu menyebut, dokumen yang dirilis hanya sebagian kecil dari keseluruhan yang ada. Beberapa pekan mendatang, sebagian besar sisa dokumen akan segera dirilis lewat situs mereka.
Rilis awal dokumen menunjukkan, 120.000 individu dan entitas bisnis itu menggunakan skema finansial kompleks yang dirahasiakan di balik selimut struktur dana perwalian, yayasan, dan perusahan cangkang (shell/front companies).
Kini, seluruh dokumen itu membuat sejumlah pihak mempertanyakan transparansi arus finansial para figur yang namanya tercantum dalam Paradise Papers.
Dokumen itu juga memicu munculnya dugaan tax evasion dan tax avoidance yang mungkin dilakukan oleh ke-120.000 individu serta entitas bisnis tersebut.
Meski begitu, seperti dikutip dari BBC, sebagian besar transaksi itu tak melanggar hukum.
Advertisement