KPI Tawarkan Jalan Tengah Hadapi Single Mux dan Multi Mux

Pemerintah ingin menerapkan sistem single mux dalam penyiaran, sementara pihak swasta menginginkan multi mux.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 07 Nov 2017, 13:43 WIB
Diskusi RUU Penyiaran di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Serpong, Senin (6/11/2017). (Liputan6.com/M.Radityo)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sudjarwanto Rahmat Arifin, menawarkan solusi terkait polemik single mux dan multi mux yang tengah dibahas di Badan Legislatif DPR. Menurut dia, masih ada jalan tengah untuk mengakhiri polemik RUU Penyiaran di parlemen saat ini.

"Jika operator tunggal (single mux) maka pastikan pelayanan untuk TV Existing berjalan baik, lalu perkembangan teknologinya jangan dibelit lambannya birokrasi," kata dia dalam diskusi di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Serpong, Senin 6 November 2017.

Menurut Sudjarwanto, solusinya sebagai perwakilan KPI adalah bagaimana digitalisasi harus dilaksanakan, dan pemerintah harus mendapat digital deviden untuk itu.

"Beberapa waktu lalu saya diskusi bersama menteri menyatakan pemerintah enggak bisa nunda lagi, digitalisasi harus dilaksanakan saat ini. Kita akan semakin ketinggalan, terutama e-commerce dan semacamnya," jelas dia.

Karena itu, bila sebaliknya pilihan multi mux yang digunakan, maka harus ada pembagian adil antara Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI).

"Pembagian (digitalisasi) harus dibagi pada prinsip keadilan, artinya kalau memang multi, ya ATVSI dapat ATVNI (dapat)," kata Sudjarwanto.

 


Dukung Multi Mux

Pembahasan mengenai pengelolaan mux dalam RUU Penyiaran hingga kini belum menemui titik temu. Pemerintah ingin menerapkan sistem single mux dalam penyiaran, sementara pihak swasta menginginkan multi mux.

Menurut Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, pengelolaan penyiaran dengan single mux, tidak akan mengancam demokrasi. Malahan, hal itu menguntungkan pihak swasta dengan berkonsentrasi pada konten mereka.

"Kalau kita percaya negara, maka tawarannya adalah single mux, jadi kompetisi tv swasta tinggal berpikir program, konten," kata perwakian koalisi Ade Armando dalam satu diskusi penyiaran di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Serpong, Senin (6/11/2017).

Ade mengatakan, sebagian pihak di parlemen menilai pemilihan single mux operator berpotensi mengancam demokrasi.

"Begini, anggapan mux diserahkan ke negara maka kita kembali ke Orde Baru (mengancam demokrasi), saya sampaikan cara pandang itu distortif. Karena yang dikuasai sarananya, tapi konten kita bikin sedemikian rupa dan ada di UU tidak boleh dicampur tangan," ujar Ade.

Dia menganalogikan, single mux merupakan sarana seperti jalan tol yang disediakan negara, sementara deretan stasiun televisi adalah mobil-mobil di dalamnya. Sehingga dipastikan akan lebih baik bila dipilih single mux. Baik dilihat dari konsumsi daya listrik, towernya, infrastrukturnya, dan sumber daya manusia (SDM).

"Jadi terserah mobilnya, negara memfasilitasi jalan tol. Poinnya adalah banyak alasan teknis yang kami percaya bahwa terbaik ialah single mux diserahkan ke negara," ucap Ade Armando.

Sistem single mux menerapkan pola pengelolaan penyiaran pada satu lembaga penyiaran publik. Hal itu meliputi aspek regulasi maupun operasional.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya