Liputan6.com, Paris - Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak akan diundang menghadiri KTT Perubahan Iklim yang akan berlangsung di Paris, Prancis, pada akhir tahun ini.
Seorang pejabat pemerintahan Prancis mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa AS memiliki "status khusus terkait dengan KTT tersebut." Demikian seperti dikutip dari Independent pada Rabu (8/11/2017).
Kendati demikian, pejabat AS kemungkinan akan tetap diundang. Hanya saja tidak sampai pada tingkat presiden.
Negeri Paman Sam telah memulai proses penarikan diri resmi dari Kesepakatan Paris, perjanjian global yang ditandatangani oleh hampir 200 negara pada Desember 2015. Kesepakatan ini bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan pemanasan global menjadi di bawah 2 derajat Celsius.
Mantan Presiden Barack Obama menandatangani dan bergabung dengan kesepakatan tersebut melalui sebuah perintah eksekutif pada tahun 2016. Melalui kebijakannya ia telah "menampar" para penentang teori perubahan iklim di Kongres.
Baca Juga
Advertisement
Berbeda dengan Obama, lewat salah satu janji kampanyenya, Trump justru menyatakan akan membawa AS keluar dari kesepatan tersebut. Ia berpendapat bahwa kesepakatan tersebut tidak adil dan menempatkan pekerja AS, khususnya di industri batubara dalam kerugian ekonomi.
Penarikan diri AS dari Kesepakatan Paris akan efektif per 4 November 2020, atau beberapa hari jelang pemilu presiden AS berikutnya.
Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron serta pemimpin Jerman dan Italia pada Juni lalu sepakat menyatakan bahwa meski Trump bersedia berunding, poin Kesepakatan Paris tidak akan dinegosiasikan ulang. "Karena ini merupakan instrumen vital bagi planet, masyarakat, dan ekonomi kita."
Meski ditentang oleh Trump, mayoritas gubernur, wali kota dan CEO AS telah menegaskan akan tetap mematuhi komitmen yang digariskan dalam Kesepakatan Paris.
AS Satu-satunya di Dunia yang Menentang Kesepakatan Paris
Washington menjadi satu-satunya pemerintahan di dunia yang tidak bergabung dalam Kesepakatan Paris. Sebelumnya, Nikaragua dan Suriah juga berada di sisi yang sama hingga belakangan mereka memutuskan untuk mengambil kebijakan sebaliknya.
Namun, belum semua negara penandatangan Kesepakatan Paris meratifikasi perjanjian tersebut.
Saat berpidato di hadapan delegasi dalam Conference of Parties (COP 23) atau konferensi tahunan perubahan iklim di Bonn, Jerman, Wakil Menteri Administrasi Lokal dan Lingkungan Suriah M. Wadah Katmawi mengatakan, negaranya akan bergabung dengan Kesepakatan Paris sesegera mungkin.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Suriah akan mencari bantuan luar negeri untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris.
"Negara-negara yang memasuki fase pemulihan pasca-perang harus diberikan prioritas dalam rekonstruksi dan reorganisasi lingkungan dan iklim," tutur Katmawi.
COP 23 merupakan forum di mana wakil dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, berkumpul untuk mendiskusikan rencana kemanusiaan dalam upaya memerangi perubahan iklim. Ajang ini berlangsung mulai 6 November hingga 17 November 2017.
Advertisement