Problem Serius Bencana Banjir di Jateng

Jateng siaga banjir. Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, 32 di antaranya masuk kategori rawan bencana. Luasan mencapai ribuan desa.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 09 Nov 2017, 22:00 WIB
Hadi Santoso, Wakil Ketua Komisi D DPRD Jateng sedang menjelaskan problematika kewenangan penanganan bencana dalam sebuah diskusi. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - November hingga Desember bagi sejumlah daerah di Jawa Tengah, adalah bulan waswas. Pada bulan-bulan akhir tahun inilah banjir menjadi ancaman serius seperti ritus tahunan.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Jateng, Hadi Santoso menyebutkan bahwa pemerintah provinsi bukannya tidak bekerja. Namun, ada problem lain yang perlu segera ditangani, yakni kewenangan.

"Jateng memang dikenal sebagai supermarket bencana. Ada titik yang menjadi langganan banjir dan longsor. Namun, karena problem kewenangan, tidak bisa langsung ditangani Pemprov Jateng," ucap Wakil Ketua Komisi D Hadi Santoso kepada Liputan6.com, Rabu, 8 November 2017.

Beberapa daerah ada beberapa titik rawan bencana yang berhubungan dengan objek vital. Masing-masing adalah rob di pantura. Ada juga limpahan air sungai atau banjir di wilayah selatan Jateng ketika hujan.

"Persoalan itu menyangkut regulasi. Harus segera ada penyelesaian, sehingga persoalan bencana dapat segera ditangani secepatnya. Embung sudah dibangun di daerah cekungan. Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng sudah membuat sistem resapan atau biopori di tengah masyarakat," kata Hadi.

Menurut dia, penanggulangan bencana, sebaiknya upayanya bukan soal pengendalian tapi pengelolaan. Dengan begitu, sejak awal pihak-pihak terkait lebih siap dalam penanganan bencana.

DPRD Jateng sendiri tengah menggarap Raperda Air Tanah yang diharapkan bisa mempengaruhi upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor.

Di Jawa Tengah, dari 35 kabupaten/kota, ada 32 kabupaten/kota masuk rawan bencana. Kecuali, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, dan Kota Tegal. Dari puluhan daerah itu, 1.719 desa di 334 kecamatan berstatus rawan banjir dan 1.594 desa berstatus rawan longsor.

Sementara, data BMKG menyebutkan puncak musim hujan terjadi pada Januari 2018. Pada‌ November ini, seluruh Jateng sudah masuk awal penghujan.‌ Namun, jika dibanding tahun lalu, pada 2017 ini curah hujan masih lebih rendah. Meski demikian, antisipasi banjir sudah disiapkan.


Demam Berdarah Hantui Warga Usai Banjir

Petugas melakukan fogging untuk menekan wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) usai banjir. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sementara di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sejumlah kecamatan dilanda banjir pada awal musim penghujan kali ini. Tak hanya sekali, banjir rendaman telah terjadi empat kali, antara akhir September hingga awal November 2017.

Terakhir, banjir merendam sembilan desa di empat kecamatan berbeda, yakni Sidareja, Kedungreja, Kroya, dan Nusawungu selama empat hari dari 29 Oktober-1 November 2017. Sebelumnya, pada pertengahan Oktober lalu, 14 desa di lima kecamatan juga terendam banjir. Tak pelak, berbagai penyakit muncul setelah banjir merendam permukiman penduduk tersebut.

Kepala Puskesmas Kedungreja, Handria Laksita mengatakan, penyakit yang paling sering menjangkit adalah penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan (ISPA). Penyakit ini muncul lantaran lingkungan yang tidak sehat setelah permukiman warga direndam berhari-hari hingga hitungan minggu.

Yang lebih berbahaya, bersamaan dengan tibanya musim hujan dan banjir, wabah demam berdarah dengue (DBD) mengancam wilayah rawan rendaman. Sebab itu, Dinas kesehatan mengerahkan petugasnya untuk memantau sekaligus membuka pelayanan kesehatan gratis, setelah terjadi banjir di belasan desa di Cilacap.

Handria mengemukakan, pihaknya menyisir daerah rendaman baik saat banjir maupun setelah banjir. Petugas menuju ke daerah-daerah rendaman dan mendirikan Posko di daerah tersebut.

"Ini musim banjir belum puncaknya. Daerah Sidareja, itu sekitar aliran Cibeureum sudah tidak asing lagi. Kulit, biasa. Penyakit kulit, pasti. Turun itu sudah rutin. Ada juga ancaman demam berdarah. Pasti ada," dia menjelaskan kepada Liputan6.com, Rabu, 1 November 2017.

Melihat kondisi tersebut, Kepala Puskesmas Kedungreja, Handria Laksita pun menganjurkan supaya warga lebih rajin melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Dia menilai, PSN lebih efektif menekan wabah dibanding fogging atau pengasapan.

"Masalahnya, fogging itu hanya membunuh nyamuk dewasa. Kalau PSN justru memberantas sarangnya," dia menegaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya