Liputan6.com, Shenyang - Sedikitnya 10 warga negara Korea Utara ditangkap oleh otoritas China, saat hendak menyeberang ke wilayah Korea Selatan.
Biasanya, calon pembelot dari Korut akan ditangkap dan dideportasi kembali ke negara asal. Tetapi kesepuluh orang ini malah dituntut sebagai penjahat.
Dilansir dari laman Sputniknews.com, Rabu (8/11/2017), para pembelot terdiri dari tujuh orang wanita dan tiga orang laki-laki. Salah satu di antaranya adalah balita berusia tiga tahun.
Baca Juga
Advertisement
Mulanya, sepuluh pembelot ini melintasi perbatasan antara Korut dan China. Namun, upaya mereka gagal setelah aksinya diketahui otoritas China di kota Shenyang.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Korea Selatan, Roh Kyu-deok mengatakan, bahwa Seoul memantau ketat sepuluh pembelot tersebut.
"Kami melakukan upaya diplomatik dengan negara-negara terkait sehingga calon pembelot dapat dihentikan aksinya," ujar Roh dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying juga angkat suara. Ia mengatakan, belum mengetahui secara rinci kasus tersebut. Namun pihaknya akan menangani kasus tersebut sesuai dengan hukum domestik dan internasional yang berlaku.
Sejak Juli 2016 hingga Juli 2017, Human Rights Watch mencatat ada 51 penangkapan pembelot Korut di China.
Human Rights Watch juga mengatakan, hukum di China tak memperbolehkan warga Korut mengungsi ke negaranya. Mereka dianggap sebagai migran ilegal yang nantinya akan segera dideportasi.
Organisasi HAM tersebut meminta China untuk segera membebaskan kesepuluh tahanan tersebut.
"China harus membebaskan sepuluh warga Korut dan membiarkan mereka melanjutkan perjalanan ke negara ketiga, tempat di mana mereka bisa mendapatkan perlindungan," ujar Phil Roberston, Wakil Direktur HRW Asia.
Pembelot: Penduduk di Korut Tak Diperlakukan seperti 'Manusia'
Kehidupan di Korea Utara masih merupakan sebuah 'misteri' bagi warga dunia. Kepemimpinan mutlak yang mengharuskan warga menghormati dan 'mendewakan' pemimpin, membuat beberapa aktivis menyebutkan bahwa penduduk tidak memiliki HAM di negara itu.
Contohnya saja, apa pun yang dilakukan oleh masyarakat harus mengagung-agungkan pemimpin terdahulu mereka, Kim Il-sung. Murid sekolah pun didikte dengan kisah-kisah kehebatan penguasa, tentang bagaimana ia mengusir Jepang dari Korea Utara.
Tidak hanya itu, kebebasan untuk memiliki apa yang diinginkan, bercita-cita, menonton televisi, dan mengakses internet, semua itu tidak didapatkan oleh warga.
Akibatnya beberapa orang yang ingin bebas memilih untuk membelot dan pindah ke negara tetangga seperti Korea Selatan, China, atau Jepang.
Seperti salah satunya yang dilakukan oleh Cho Chung-hui yang memilih untuk pindah ke Korea Selatan sejak 2011 lalu.
Melalui sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh seorang pembuat film asal Rusia bertajuk 'Under The Sun', Cho mencoba mengungkapkan kepada publik seperti apa kehidupan sebenarnya di negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un.
"Saya lahir dan besar di Korea Utara hingga 2011 silam, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk pindah ke Korea Selatan," kata Cho.
Dokumenter itu menceritakan tentang seorang bocah delapan tahun, Jin Mi, yang tengah mempersiapkan diri untuk peringatan ulang tahun Kim Il-Sung.
"Kisah yang dialami Jin Mi hampir sama dengan apa yang aku rasakan. Semuanya serba diatur, Anda bisa lihat sendiri di dalam film, bahkan untuk menyetrika pakaian saja ada aturannya," ujar pembelot tersebut.
Dalam dokumenter tersebut sang sutradara dapat dengan diam-diam merekam aksi di mana seorang'pengarah' mengatur apa yang harus dibicarakan oleh keluarga Jin Mi selama pembuatan film berlangsung.
Under The Sun juga memperlihatkan adegan di mana anak-anak seusia Jin Mi harus mulai masuk ke dalam kehidupan 'politik', seperti mengikuti kegiatan masyarakat yang dilakukan sekali seminggu.
"Sangat sulit untuk melakukan apa yang diinginkan, tidak ada kebebasan dan hak asasi manusia tidak berlaku di sana," kata pria yang berasal dari keluarga pembelot itu.
Ayah Cho juga keluar dari Korea Utara dan memilih untuk hidup di Jepang.
Pria pembelot itu mengatakan, latar belakang keluargalah yang menjadi salah satu alasan dia menjadi pembelot.
"Ayahku juga pembelot dan kami dianggap dari 'level' yang berbeda. Aku menjalani kehidupan yang sulit karenanya. Tapi aku harus selamat, harus memperjuangkan HAM," kata Cho.
Sebanyak 20 juta penduduk di Korut tidak mendapatkan hak mereka sebagai manusia. Untuk itu organisasi persamaan dan keadilan HAM dunia, bekerjasama untuk 'membebaskan' rakyat di sana.
"Korut tidak memperlakukan masyarakatnya sebagai 'manusia', mereka tidak punya HAM. Jadi sampai mereka mendapatkan haknya, kita harus terus berjuang," pungkas Cho.
Advertisement