Ketua MPR Minta Putusan soal Penghayat Kepercayaan Tak Buat Gaduh

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 08 Nov 2017, 19:02 WIB
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengaku prihatin dengan banyaknya saling menista dan saling melapor sesama anak bangsa.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua MPR Zulkifli Hasan berharap, putusan Mahkamah Konstitusi agar penghayat kepercayaan bisa memasukan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP, tidak ada kegaduhan.

"Mudah-mudahan enggak bikin gaduh karena sudah banyak kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu, tapi keputusan MK kan harus kita hormati," ujar pria yang berkarib disapa Zulhas ini di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (8/11/2017).

Ketua Umum PAN ini pun enggan bicara lebih jauh. Sebab, putusan MK harus dihormati.

"Sudah itu saja, enggak usah ditambah lagi. Kita hormati keputusan MK," tegas dia.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Permohonan itu diajukan oleh Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan agar penghayat kepercayaan dapat memasukan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP pada 28 September 2016.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

 


Kata Agama

Dalam putusannya, Arief menyebut kata agama pada Pasal 61 dan 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan alenia keempat pembukaan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk kepercayaan.

Pasal 61 ayat 1 menyebutkan bahwa KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama pengakuan kepala keluarga dan anggota keluarga NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, status perlawanan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orangtua.

Sedangkan untuk Pasal 61 ayat 2 itu menyatakan keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

"Itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," ujar Arief.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya