Malahayati, Laksamana Wanita Penakluk Belanda dan Portugis

Atas keberaniannya, nama Malahayati saat ini dijadikan nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi hingga nama kapal perang.

oleh Luqman RimadiAchmad Sudarno diperbarui 09 Nov 2017, 13:31 WIB
Keumalahayati Malahayati, laksamana laut yang disegani dunia dari Kesultanan Aceh. (Foto: Istimewa/id.wikipedia.org)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Laksamana Malahayati dari Kesultanan Aceh tepat hari, Kamis (9/11/2017). Pengangkatannya sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Dalam sejumlah riwayat sejarah, Laksamana Malayahati digambarkan sebagai panglima perang Kesultanan Aceh, yang mampu menaklukkan armada angkatan laut Belanda dan bangsa Portugis (Portugal) pada abad ke-16 Masehi.

Malahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada 1530-1539.

Tak mengherankan bila kemudian Malahayati akrab dengan dunia angkatan laut. Sebelum memimpin peperangan, ia sempat mengenyam pendidikan akademi militer dan memperdalam ilmu kelautan di Baital Makdis atau Pusat Pendidikan Tentara Aceh.

Saat itu, Malahayati bertemu dengan seorang perwira muda yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Dalam suatu perang melawan Portugal di Teluk Haru, armada Aceh sukses menghancurkan para prajurit bangsa Portugis.

Namun, pertempuran itu mengakibatkan sekitar seribu orang Aceh tewas, termasuk laksamana yang merupakan suami Malahayati.

Sepeninggal suaminya, Malahayati membentuk armada yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan bangsa Portugis. Armada pasukannya diberi nama Inong Balee atau Armada Perempuan Janda.

Pangkalannya berada di Teluk Lamreh, Krueng Raya, Aceh. Ada 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal perang dilengkapi dengan meriam. Bahkan, kapal paling besar dilengkapi lima meriam.

Malahayati juga membangun benteng yang dinamai Benteng Inong Balee bersama pasukannya. Karier militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di Angkatan Laut Kerajaan Aceh kala itu.

Sebagaimana layaknya para pemimpin zaman itu, Laksamana Malahayati ikut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugal dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.

 


Buat Tersentak Ratu Elizabeth I

Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang hendak masuk ke wilayah Aceh memilih untuk menempuh jalan damai.

Surat dari Ratu Elizabeth I yang dibawa James Lancaster untuk Sultan Aceh membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten.

Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, juga mencoba menggoyang kekuasaan Aceh pada 1599. Namun, upayanya gagal. Pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh armada Inong Balee. Cornelis de Houtman tewas di tangan Laksamana Malahayati pada 11 September 1599.

Sementara, Prins Maurits yang memimpin Belanda saat itu, berupaya memperbaiki hubungan dengan Aceh. Keduanya menggelar perundingan awal hingga tercapai sejumlah persetujuan.

Atas keberaniannya, nama Malahayati saat ini dijadikan nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi hingga nama kapal perang, yakni KRI Malahayati. Bahkan lukisannya diabadikan di Museum Kapal Selam, Surabaya, Jawa Timur.

Sejumlah tokoh dan sejarawan menyayangkan tak banyak yang mengenal sosok Malahayati. Ketua Yayasan Cut Nyak Dien, Pocut Hasrindah Syahrul meminta agar Malahayati masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.

"Beliau ini sangat hebat. Perempuan pertama di Indonesia bahkan di dunia yang menjadi laksamana dan memimpin pertempuran di laut, tapi terlupakan dalam sejarah," ujar dia dalam diskusi "Laksamana Malahayati dalam Rangka Penguatan Jati Diri sebagai Bangsa" yang digelar di Sentul, Bogor, Rabu 17 Mei 2017.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya