Liputan6.com, Riyadh - Pada Sabtu malam, 4 November 2017, penangkapan besar-besaran dilakukan di Arab Saudi. Sebanyak 49 orang diciduk atas tuduhan korupsi, 11 di antaranya adalah para pangeran.
Mereka diperkarakan oleh lembaga baru yang dipimpin Putra Mahkota Mohammed bin Salman, atas restu Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud
"Raja Salman memerintahkan inisiatif antikorupsi baru sebagai bagian dari agenda reformasi aktif yang bertujuan menanggulangi masalah terus-menerus yang telah menghambat usaha pembangunan di Kerajaan dalam beberapa dekade terakhir," demikian diungkap dalam siaran pers Kementerian Komunikasi Arab Saudi, seperti dikabarkan Al Arabiya.
Baca Juga
Advertisement
Miliarder Arab Saudi yang masuk daftar orang terkaya di dunia versi Forbes, Pangeran Alwaleed bin Talal, termasuk yang ditangkap.
Kini, mereka sedang menjalani penahanan serta pemeriksaan di Ritz Carlton Hotel, Riyadh, bukan di penjara biasa.
Meski ditahan di hotel mewah, kondisi mereka jauh dari nyaman. Sejumlah foto dan video beredar di Arab Saudi, menunjukkan para pangeran, menteri, dan pebisnis tidur di kasur tipis yang digelar di atas karpet. Tubuh mereka dibalut selimut.
Mereka diduga ditahan di sebuah ruangan aula (function hall) yang memiliki arsitektur mewah di hotel bintang lima tersebut.
Bukan kali ini saja, para pangeran Arab Saudi diperkarakan dalam kasus hukum di negara mereka sendiri.
Pada Juli 2017, misalnya, Raja Salman memerintahkan penangkapan Pangeran Saud bin Abdulaziz bin Musaed bin Saud bin Abdulaziz Al Saud setelah videonya sedang melakukan kekerasan fisik tersebar.
Bahkan, fakta sejarah menunjukkan, ada juga pangeran Arab Saudi yang tewas di tangan algojo pancung.
Berikut 3 kaum darah biru Arab Saudi yang tewas dieksekusi mati, seperti dikutip dari sejumlah sumber:
1. Pangeran Turki bin Saud al-Kabir
Pangeran Turki bin Saud al-Kabir menjadi orang ke-134 yang dieksekusi pada tahun 2016.
Ia dinyatakan bersalah dalam kasus penembakan dan pembunuhan sesama warga Saudi, Adel bin Suleiman bin Abdulkareem Al-Muhaimeed di tengah perkelahian massal di wilayah al-Thumama.
Karena keluarga korban menolak 'uang darah' atau diyat, sang pangeran yang masih muda itu divonis hukuman mati. Hukuman mati dilakukan setelah keputusan tersebut dikuatkan Mahkamah Agung dan direstui pihak Kerajaan Arab Saudi.
"Hukuman mati tersebut menunjukkan bahwa kerajaan peduli dengan keamanan, keadilan, dan keselamatan bagi semua orang," demikian pernyataan Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi seperti dikabarkan Arab News.
Baik kantor berita negara Arab maupun Kementerian Dalam Negeri tidak merilis informasi pribadi mengenai Kabir.
Seperti dikutip dari Newsweek, Pangeran Faisal bin Farhan al-Saud, salah satu anggota keluarga kerajaan mengatakan kepada New York Times, bahwa Kabir adalah salah satu cabang keluarga kerajaan yang paling penting.
Meski demikian, ia tidak berada di garis takhta keturunan keturunan Raja Abdulaziz, pemimpin yang mendirikan Arab Saudi pada tahun 1932.
"Raja selalu mengatakan, tak ada perbedaan di depan hukum antara para pangeran dan warga lainnya. Menurut saya, itu adalah manifestasi dari pernyataan itu," kata dia.
Pangeran Turki bin Saud al-Kabir tamat oleh algojo pancung pada Selasa, 18 Oktober 2016.
Namun, salah satu komentator di Arab Saudi, yang meminta namanya tak disebutkan mengatakan, karena Kabir bukan bagian dari keturunan Raja Abdulaziz, ia berada di luar lingkaran paling elite di sana.
Advertisement
2. Pangeran Faisal bin Musaid al-Saud
Penguasa Arab Saudi, Raja Faisal meninggal dunia pada 25 Maret 1975. Maut menjemputnya dengan tak terduga.
Pangeran Faisal bin Musaid, keponakan Raja Faisal, menembakkan tiga peluru dari jarak dekat ke arah korban di tengah sebuah acara kerajaan.
Seperti dikutip dari BBC, menurut sejumlah saksi mata, Pangeran Faisal bin Musaed kala itu berada di sebuah ruangan, sedang berbincang dengan seorang delegasi Kuwait, saat menanti kedatangan sang raja.
Raja Faisal sedang membungkuk, untuk mencium keponakannya itu. Namun, tanpa peringatan, Pangeran Faisal bin Musaid mengeluarkan pistol dan menembak korban. Senjata itu diarahkan ke bawah dagu, lalu ke telinga.
Salah satu pengawal sang raja sempat memukulkan pedangnya yang masih bersarung ke arah pelaku.
Menteri Minyak Sheikh Yamani dilaporkan berteriak, memerintahkan para pengawal untuk tidak membunuh sang pangeran.
Segala upaya telah dilakukan dokter untuk menyelamatkan sang raja, dengan memijat jantung dan memberikan tranfusi darah, tapi tak berhasil.
Pangeran Faisal bin Musaid dibekuk tak lama kemudian dan diperiksa pihak Kepolisian Saudi. Para dokter dan psikiater mengeluarkan diagnosis bahwa pelaku dalam kondisi 'tak seimbang' secara mental. Sebelum hingga setelah insiden penembakan, pelaku dalam kondisi tenang.
Ia kemudian dinyatakan bersalah. Pada Juni 1975, Faisal bin Musaed dieksekusi mati dalam kasus pembunuhan sang raja. Eksekusi pancung dilakukan di sebuah alun-alun di Riyadh.
Seperti dikutip dari New York Times, pada hari itu, ada 10 ribu orang yang menyaksikan eksekusinya.
Kerumunan orang seketika diam saat menyaksikan algojo mengayunkan pedang panjang dan menebas kepala sang pangeran. Beberapa saat kemudian, sorak-sorai pecah.
Sebelum eksekusi dilakukan, Pangeran Faisal bin Musaid al-Saud yang baru berusia 27 tahun terlihat tenang saat digiring ke lokasi eksekusi.
Kala itu, di antara ribuan orang yang menyaksikan pemancungan, hanya ada satu keluarga kerajaan yang terlihat. Dia adalah Pangeran Salman, Gubernur Riyadh, yang adalah adik bungsu dari raja yang dibunuh. Ia kini dikenal sebagai Raja Salman.
3. Putri Misha’al bint Fahd al-Saud
Kisah cinta putri Arab Saudi ini bak kisah Romeo dan Juliet.
Putri Misha’al bint Fahd al-Saud, namanya, sudah dijodohkan dengan sesama ningrat. Calon suaminya adalah sepupunya sendiri.
Namun, saat menempuh studi di Beirut, Lebanon, ia bertemu dan jatuh cinta dengan Khaled, putra seorang diplomat Saudi. Keduanya pun menjalin cinta terlarang.
Hubungan itu terus dijalin bahkan ketika keduanya sudah kembali ke Arab Saudi. Pada 1977, mereka berniat melarikan diri, tapi tertangkap.
Hubungan mereka, dan keengganan sang putri menyalahkan kekasihnya itu, bikin marah sang kakek, Muhammad bin Abdul Aziz al-Saud, saudara sang raja.
Maka, Putri Misha’al yang kala itu berusia 19 tahun dibawa ke sebuah tempat parkir di Jeddah. Ia dieksekusi dengan tembakan di depan kekasihnya.
Pada 15 Juli 1977, kedua mata sang putri ditutup kain, ia dipaksa berlutut, dan dihukum mati. Sementara, pada hari yang sama Khaled dieksekusi pancung -- yang dilaporkan dilakukan bukan sekali ayun, tapi lima kali.
Pihak Saudi dilaporkan berusaha menutup-nutupi hubungan terlarang itu. Namun, upaya itu gagal.
Pada tahun 1980, kisah cinta yang berakhir tragis itu jadi subjek drama dokumenter berjudul Death Of A Princess yang ditayangkan BBC dan PBS.
Pihak Saudi berusaha mencekalnya, tapi gagal. Mereka membalas dengan mengusir duta besar Inggris untuk Riyadh, menarik 400 anggota kerajaan Saudi dari Britania Raya.
Kemarahan Riyadh juga menyebabkan kerugian 200 juta pound sterling pihak Inggris, dari pendapatan yang hilang dari pesanan dibatalkan dan boikot produk.
Advertisement