Liputan6.com, Mataram - Pemerintah menetapkan Maulana Syekh Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri organisasi Islam Nahdlatul Wathan di Lombok, Nusa Tenggara barat, sebagai pahlawan nasional.
Berbagai kegiatan syukuran pun digelar warga Lombok dalam menyikapi pengukuhan gelar Pahlawan Nasional untuk ulama legendaris tersebut. Satu di antaranya dengan pengibaran bendera raksasa di ujung menara Masjid Hubbul Wathan Islamic Center, Kota Mataram, NTB, setinggi 99 meter.
"Dalam menyambut pengukuhan Maulana Syekh, dikibarkan bendera raksasa. Nanti malam ada zikir dan salawat di masjid ini," ucap Muhammad Nasif, inisiator acara pengibaran bendera, Kamis, 9 November 2017.
Nasif menjelaskan, pengibaran bendera raksasa berukuran 7x14 meter itu sebagai tanda bahwa saat ini Provinsi NTB memiliki seorang pahlawan yang memperjuangkan agama dan negara.
Baca Juga
Advertisement
Menurut dia, sejak awal, Maulana Syekh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berjuang untuk agama dan negara. Hal itu diketahui dari nama organisasi yang dibuat olehnya, yaitu Nahdlatul Wathan yang berarti kebangkitan Tanah Air.
Pengukuhan gelar pahlawan nasional bagi ulama legendaris asal Lombok itu sebagai bukti bahwa di Indonesia, urusan agama dan negara sebenarnya adalah ikatan yang berkaitan satu dan lainnya. Bukan dipisah seperti perdebatan yang saat ini ramai diperbincangkan.
"Ini buktinya bahwa agama dan Negara adalah satu tarikan napas," Muhammad Nasif.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada empat tokoh yang berasal dari empat wilayah di Indonesia. Acara penganugerahan gelar pahlawan ini berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 9 November 2017.
Selain almarhum TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, gelar pahlawan nasional diberikan kepada almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof Lafran Pane asal Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keempat tokoh itu mendapat gelar pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Darah Pejuang Mengalir dari Sang Ayah
Berdasarkan informasi yang dirangkum Liputan6.com, Maulana Syekh Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid lahir di Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 17 Rabiul Awal 1316 Hijriah atau 5 Agustus 1898 Masehi. TGKH Zainuddin Abdul Madjid meninggal dunia di Pancor, Selong, Lombok Timur, pada 21 Oktober 1997, dalam usia 99 tahun.
Ulama karismatik ini sekaligus pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islam terbesar di NTB. Di Pulau Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing, dan mengayomi umat Islam dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, atau di Jawa identik dengan kiai. Seperti Hamka, belia pun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah).
Seperti dikutip dari laman resmi Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, nw.or.id, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ini adalah putra dari pasangan suami istri Tuan Guru Haji (TGH) Abdul Madjid dan Hajjah Halimtus Sa'diyah. Nama kecilnya adalah Muhammad Saggaf yang dilatarbelakangi suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati.
Tiga hari sebelum sang putra dilahirkan, TGH Abdul Madjid didatangi dua waliullah dari Hadramaut dan Magrabi. Kedua waliullah itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf.
Kedua waliullah itu berpesan kepada TGH Abdul Madjid supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqaf". Saqqaf artinya tukang memperbaiki atap. Kata "Saqqaf" diindonesiakan menjadi "Saggaf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya, ia sering dipanggil dengan "Gep" oleh ibunda Hajah Halimatus Sa'diyah.
Setelah menunaikan ibadah haji, nama kecil tersebut diganti dengan Haji Muhammad Zainuddin. Nama ini pun diberikan oleh sang ayah yang diambil dari nama seorang ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram, kota suci Mekah. Akhlak dan kepribadian ulama besar itu sangat menarik hati sang ayah. Nama ulama besar itu Syekh Muhammad Zainuddin Serawak.
Maulana Syekh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah anak bungsu. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Sabur, dan Hajah Masyitah.
Ayahandanya, TGH Abdul Madjid, terkenal dengan panggilan Guru Mu'minah adalah seorang mubalig dan terkenal pemberani. Guru Mu'minah pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibundanya Hajah Halimatus Sa'diyah terkenal sangat salehah. Adapun sejak kecil, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terkenal sangat jujur dan cerdas.
Advertisement
Mendirikan Nahdlatul Wathan
Sekembali dari Tanah Suci, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan pesantren Al-Mujahidin di tahun 1934. Selanjutnya, pada 22 Agustus 1937, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada 21 April 1943, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita.
Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok, yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Secara khusus nama madrasah tersebut diabadikan menjadi nama Pondok Pesantren Daurun Nahdlatain Nahdlatul Wathan. Istilah "Nahdlatain" diambil dari kedua madrasah tersebut.
Pada tahun 1952, madrasah-madrasah cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumnus di berbagai daerah telah berjumlah 66 buah. Maka untuk mengoordinasikan, membina, dan mengembangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah pada 1 Maret 1953 M.
Hingga tahun 1997 atau wafatnya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola organisasi Nahdlatul Wathan telah berjumlah 747 buah dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi.
Begitu pula lembaga sosial dan dakwah Islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang dengan pesat. Bukan hanya di NTB, melainkan juga di berbagai daerah di Indonesia, seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain.
Pejuang dan Perintis Kemerdekaan
Pada zaman penjajahan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan Madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Rincinya, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah.
Bahkan, secara khusus, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama Gerakan Al Mujahidin. Gerakan Al Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan bangsa Indonesia.
Pada masa pendudukan militer Jepang, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berkali-kali dipanggil untuk segera menutup dan membubarkan kedua madrasah tersebut. Alasannya, kedua madrasah ini digunakan sebagai tempat menyusun taktik dan strategi untuk menghadapi bangsa penjajah tersebut. Apalagi, kedua madrasah itu dianggap sebagai wadah yang berindikasi bangsa asing karena diajarkannya bahasa Arab.
Namun, berkat kecerdikannya, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bisa meyakinkan pihak Jepang, sehingga kedua madrasah itu tidak jadi dibubarkan. Penjelasan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di antaranya bahwa bahasa Arab adalah bahasa Alquran, bahasa Islam, dan bahasa umat Islam, bahasa yang dipakai dalam melaksanakan ibadah. Ibadah umat Islam menjadi rusak kalau tidak menggunakan bahasa Arab.
Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mempunyai peranan yang besar di Lombok. Namun, pada 7 Juli 1946, sang ulama kehilangan adik kandungnya. TGH Muhammad Faizal Abdul Majid gugur saat memimpin penyerbuan tangsi pasukan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda pasca-Perang Dunia II) di Selong. Sang adik gugur bersama dua santri NWDI sebagai syuhada.
Advertisement