Liputan6.com, Jakarta Harga minyak mentah dunia naik hampir 1 persen didukung penurunan pasokan dari eksportir utama, serta berlanjutnya kekhawatiran investor tentang perkembangan politik di Arab Saudi.
Melansir laman Reuters, Jumat (10/11/2017), harga minyak mentah Brent naik 59 sen atau 0,9 persen menjadi US$ 64,08 per barel, masih mendekati level tertinggi di posisi US$ 64,65, sejak Juni 2015.
Advertisement
Sementara harga minyak mentah mentah AS naik 46 sen atau 0,8 persen menjadi US$ 57,27, juga mendekati harga di atas dua tahun di level US$ 57,69 per barel.
"Langkah ini didorong oleh perkembangan di Arab Saudi dalam beberapa hari ini dan antisipasi bahwa konsolidasi kekuasaan oleh Raja Salman dan Putra Mahkota akan berlanjut," kata Abhishek Kumar, Analis Energi Senior di Global Gas Analytics Interfax Energy di London.
Arab Saudi berencana untuk mengurangi ekspor minyak mentahnya sebesar 120.000 barel per hari pada Desember dibandingkan November. Langkah ini mengurangi alokasi minyak ke semua wilayah, menurut juru bicara kementerian energi Arab Saudi.
Beberapa pedagang mengatakan, harga minyak mendapat dorongan dari desas-desus yang belum dikonfirmasi bahwa Raja Saudi Salman akan menyerahkan tahta kepada putranya Putra Mahkota Mohammed Bin Salman. Rumor serupa menghantam pasar pada bulan September dan Oktober namun tidak pernah terwujud.
Harga mendapat dorongan awal pekan ini dari tindakan keras pangeran mahkota Arab Saudi terkait korupsi yang mengatakan bahwa dia bertekad untuk merombak negara konservatifnya menjadi negara modern yang tidak lagi bergantung pada minyak.
Analis mengatakan kedatangannya ke takhta akan menambah ketegangan antara Arab Saudi dan beberapa negara termasuk Iran, Lebanon dan Yaman.
Di sisi lain, OPEC akan membahas kebijakan output pada pertemuan di 30 November, dan diperkirakan organisasi ini akan memperpanjang kebijakan pembatasan output di luar batas target mereka pada Maret 2018.
"Dengan kesepakatan OPEC atau non-OPEC di luar perkiraan pada Maret 2018, harga minyak bisa menjadi lebih kuat mencapai kisaran US$ 65 - US$ 70 per barel pada 2018," kata konsultan energi FGE.
Teknologi Digital Jadi Penolong Industri Saat Harga Minyak Rendah
Advertisement