Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XI DPR, Misbakhun mendukung langkah Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengenakan cukai rokok elektrik, khususnya terhadap cairan vape dan e-cigarette sebesar 57 persen mulai 1 Juli 2018. Alasannya, peredaran rokok elektrik dapat mengancam tradisi Indonesia.
"Saya setuju pemerintah kenakan cukai terhadap cairan vape atau rokok elektrik sebesar 57 persen karena tradisi rokok elektrik bukan tradisi masyarakat Indonesia," kata Misbakhun dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (10/11/2017).
Advertisement
Misbakhun berpendapat, tradisi merokok masyarakat Indonesia adalah menghisap rokok kretek. Di mana, tembakaunya berasal dari para petani lokal dan produksinya dilakukan secara manual sebagai sigaret kretek tangan (SKT). Produksi SKT, banyak menyerap tenaga kerja.
"Kegiatan merokok vape bisa mengganggu konsumsi rokok kretek Indonesia dan mengganggu tradisi merokok kretek di Indonesia," tegas Politisi dari Partai Golkar ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengenakan cukai terhadap produk hasil pengolahan tembakau (HPTL) atau yang disebut rokok elektrik, seperti e-cigarette, vape, tobacco molasses, snuffing tobacco, dan chewing tobacco. Tarif cukai rokok elektrik sebesar 57 persen dan berlaku per 1 Juli 2018.
Kebijakan pungutan cukai rokok elektrik ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
"Rokok elektrik kita pungut 57 persen dari harga jual eceran (HJE) per 1 Juli 2018. Ini pertama kalinya, vape, e-cigarette dikenakan cukai," tegas Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi.
Heru mengungkapkan, dalam Undang-Undang (UU) Cukai menyebut bahwa semua hasil tembakau merupakan objek cukai. Begitupula dengan vape yang merupakan cairan dari hasil tembakau sehingga konsumsinya harus dibatasi dengan pengenaan cukai.
"Yang kena cukai cairan atau esensnya vape dan e-cigarette. Jadi yang impor kena bea masuk dan cukai, plus kalau ada perizinannya, dia harus memenuhi dulu. Kalau ada lokal yang mau produksi, maka kena cukai 57 persen dari HJE saja," terang Heru.
Dalam memungut cukai terhadap hasil tembakau atau rokok, kata Heru, pemerintah lebih mementingkan tujuan instrumen cukai untuk mengendalikan konsumsi, termasuk anak-anak. "Fokus kita pada pengendalian konsumsi dulu, tidak fokus pada jumlah penerimaannya," tutur dia.
Pemerintah Diminta Kaji Kembali Rencana Batasi Rokok Elektrik
Pemerintah diminta mengkaji kembali rencana larangan peredaran dan konsumsi rokok elektrik dan vape. Keduanya dinilai merupakan produk tembakau alternatif bagi masyarakat yang selama ini mengkonsumsi rokok tembakau, yang mengandung tar dan lebih berbahaya dari nikotin.
“Selama ini, orang lebih banyak mendiskusikan mengenai bahaya nikotin yang menyebabkan kecanduan. Padahal, tar jauh lebih berbahaya karena mengandung zat-zat karsinogenik yang dihasilkan dari pembakaran rokok,” ujar Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (Kabar) Achmad Syawqie, Rabu (8/11/2017).
Permintaan ini menanggapi pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang akan mengatur peredaran cairan rokok elektrik (vape). Pengaturan ini untuk mengontrol penggunaannya agar mengikuti standar kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Menurut Mendag, cairan rokok elektrik yang dijual seharusnya mendapat rekomendasi dari Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM). Selain itu, cairan rokok elektrik juga harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Syawqie mengaku, pihaknya berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi atas permasalahan dampak rokok bagi kesehatan, dengan mengedepankan informasi berbasis penelitian ilmiah dan teknologi demi mengatasi dampak buruk Tar melalui produk tembakau alternatif.
“Di negara-negara maju, mereka melakukan berbagai penelitian dan pengembangan atas produk tembakau alternatif yang memiliki tingkat bahaya yang lebih rendah guna mencari solusi bagi para perokok. Kami berharap Kabar bisa memberikan kontribusi dan mendorong berbagai pihak untuk melakukan penelitian dan kajian ilmiah yang sama demi menurunkan risiko kesehatan masyarakat akibat TAR,” tambah Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran Bandung ini.
Dia mencontohkan pada 2015, agensi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan Inggris Raya Public Health England merilis hasil riset yang menunjukkan bahwa produk nikotin yang dipanaskan menurunkan risiko hingga 95 persen dari rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar.
Sebab itu, kata dia, pihaknya mendorong pemerintah untuk segera melakukan penelitian ilmiah, berdiskusi dengan para peneliti yang mendalami produk tembakau alternatif di Indonesia, serta mendalami berbagai penelitian yang dilakukan oleh pakar atau organisasi independen dari berbagai negara.
“Kami setuju bahwa produk tembakau alternatif harus segera diregulasi, diantaranya agar tidak dikonsumsi oleh anak-anak. Namun demikian, wacana pelarangan bukanlah keputusan bijaksana, mengingat banyaknya penelitian dan pengembangan produk yang menunjukkan adanya pengurangan bahaya produk tembakau jika tidak dibakar," tambah Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andrianto.
Kabar merupakan kumpulan dari beberapa asosiasi dan organisasi yang menaruh perhatian khusus terhadap bahaya tar terhadap kesehatan publik. Koalisi ini dibentuk untuk mencari solusi mengatasi dan mengedukasi dampak buruk tar, salah satunya berasal dari rokok yang dikonsumsi dengan dibakar.
Koalisi ini beranggotakan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Tar Free Foundation, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI), serta Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI).
Upaya memudahkan akses informasi berbasis penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi, Kabar juga meluncurkan situs www.no-tar.org, platform digital yang akan digunakan untuk menginventaris kajian-kajian ilmiah, data, dan informasi produk tembakau alternatif.
Advertisement