Sri Mulyani Masih Pikir-Pikir Bebaskan PPN buat Kerek Daya Beli

Kadin mengusulkan pembebasan PPN tersebut selama 1-2 minggu.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 10 Nov 2017, 13:45 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengaku masih mempertimbangkan terkait permintaan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi masyarakat untuk mengerek daya beli masyarakat.

Pembebasan PPN merupakan permintaan dari pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

"Usulan Kadin banyak sekali mengenai usulan yang dipakai untuk meningkatkan konfiden, investasi, dan konsumen. Kami mempelajari usulan tersebut," ujar Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Jumat (10/11/2017).

Dia mengatakan, pemerintah masih mempelajari permintaan Kadin untuk membebaskan PPN 10 persen atas transaksi belanja konsumen. Kadin mengusulkan pembebasan PPN tersebut selama 1-2 minggu.

"Kita mempelajari usulan tersebut. Kalau memang sudah dialokasikan di dalam APBN, kita lakukan. Tapi kalau yang sifatnya menghilangkan atau memberikan holiday PPN, kita akan pelajari aturannya," terang Sri Mulyani.

Sebelumnya, Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P. Roeslani sebelumnya mengaku telah menyampaikan secara langsung kepada Sri Mulyani Indrawati untuk memberikan stimulus perpajakan, seperti penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan maupun pembebasan PPN bagi masyarakat.

"Saya sudah ngomong ke Bu Ani (Sri Mulyani) langsung dan di depan jajarannya, bikin saja kebijakan pembebasan PPN untuk orang yang makan dan belanja selama 1-2 minggu. Hanya untuk bikin jumper saja," Rosan menyarankan.

"Lihat penjualan mobil di pameran bagus sekali, di atas target karena diskonnya gede-gedean bisa sampai Rp 25 juta-Rp 30 juta per unit. Jadi buat jumper saja, yang merangsang orang untuk membeli," tambahnya.

Langkah stimulus berupa keringanan pajak, dinilai Rosan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk kembali membelanjakan uangnya. Dengan demikian, konsumsi rumah tangga tumbuh dan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

"Jangan malah pajak dikencengin yang bikin orang takut spending atau belanja. Ini kan masalah nyaman, sebenarnya duit ada tapi semua lagi pada naruh di bank. Kalau mau perekonomian jalan, kita harus spending. Jika tidak, ekonomi tidak bertumbuh sesuai harapan karena kan sumber utama pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi rumah tangga," tutur Rosan.


Nielsen: Gaji Kelas Menengah Bawah Turun, Konsumsi Berkurang

The Nielsen Company Indonesia merilis hasil survei perlambatan pertumbuhan ritel fast moving consumer good (FMCG) Indonesia. Dari rilis survei itu menunjukkan ada perlambatan pertumbuhan di sektor FMGC.

Mengutip laporan Nielsen, seperti ditulis Jumat (3/11/2017), FCMS alami perlambatan pertumbuhan dengan hanya mencapai 2,7 persen hingga September 2017. Sedangkan rata-rata pertumbuhan normal tahunan mencapai 11 persen.

Bila melihat survei Nielsen, pertumbuhan FMCG cenderung melambat sejak 2012. Tercatat, pertumbuhan FCMG sekitar 14 persen dengan inflasi 8,4 persen, 2013 tercatat 10,5 persen, 2014 sekitar 11,5 persen, 2016 sekitar 7,7 persen. Hingga September 2017, FCMG tumbuh 2,7 persen.

Dalam laporan itu disebutkan kelas menengah bawah sebagai pemegang porsi yang besar mengalami perlambatan karena menurunnya take home pay (THP), kenaikan harga utility sehingga berdampak pada pengurangan konsumsi, menahan pembelian impulsif produk dan downsizing.

"Upper class masih menunggu situasi di mana mereka hanya bertindak wait and see, namun ada indikasi di mana pengeluaran di lifestyle cenderung terus bertumbuh," tulis laporan itu.

Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede menilai, daya beli masyarakat masih cukup solid terutama di masyarakat kelas menengah hingga atas. Akan tetapi, ia melihat ada perubahan pola konsumsi masyarakat. Saat belanja, masyarakat lebih memilih untuk kebutuhan penting dan seperlunya.

"Berdasarkan data BPS pada kuartal II kalau barang konsumsi, alat rumah tangga, non durable goods turun, sedangkan bisnis restoran dan hotel naik. Jadi ada shifting," ujar Joshua saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, masyarakat menengah hingga atas sekarang menunda konsumsi. Kini mengalihkan dana untuk menabung. Hal ini karena ada sejumlah kegiatan politik yang akan berlangsung tahun depan.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebutkan, jumlah simpanan dengan saldo hingga Rp 2 miliar naik 0,99 persen dari 226,82 juta rekening pada Agustus 2017 menjadi 229,06 juta rekening. Jumlah nominalnya juga naik 0,39 persen dari Rp 2.214,108 miliar menjadi Rp 2.222.718 miliar.

"Masyarakat menengat atas wait and see dan menunda. Mereka melihat kenaikan suku bunga AS, Dolar AS, dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018, dan mulai kampanye pemilihan presiden,serta pajak," ujar dia.

Joshua melihat, daya beli masyarakat akan pulih 2018. Apalagi pemerintah mendorong percepatan belanja anggaran desa dengan menggenjot proyek padat karya. Joshua menilai, hal itu dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat.

"Selain itu upah minimum akan naik, daya beli jadi akan membaik," kata dia.

Joshua pun mengingatkan kalau pentingnya perusahaan berinovasi. Ini agar tetap bertahan di tengah perkembangan teknologi.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya