Ini Kendala dalam Penelitian Sel Punca di Indonesia

Berikut ini beberapa hambatan yang pengembang hadapi dalam mengembangkan sel punca.

oleh Umi Septia diperbarui 10 Nov 2017, 19:30 WIB
Sel Punca, Masa Depan Dunia Kedokteran

Liputan6.com, Jakarta PT Bifarma Adiluhung selaku pengembang sel punca yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Medistra dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengakui adanya beberapa hambatan dalam penelitian. Salah satunya adalah mengenai pendanaan.

"Hambatan dalam pengembangan sel punca ini adalah media pengembangan atau regent sel punca yang harus impor. Selain harganya mahal, produsen media sel punca ini masih jarang, sehingga produsen powerful dalam memberi harga," ucap dr. Sandy Qlintang, direktur PT Bifarma Adiluhung saat ditemui di acara penandatanganan nota kesepakatan kerjasama pada Jumat (10/11/2017) di Gedung IMERI Jakarta Pusat.

Lebih lanjut dr. Sandy menjelaskan, seringkali regent untuk mengembangkan sel punca tidak bisa didapatkan akibat stok yang kosong. Ini juga merupakan masalah yang harus dihadapi.

"Dengan adanya kerjasama ini saya yakin pasien yang menggunakan sel punca di RSCM atau Medistra akan meningkat. Jika pasien meningkat nantinya produksi juga akan meningkat," lanjut dia.

Dr. Sandy juga berharap adanya bantuan pemerintah dalam mengatasi hambatan tersebut.

"Kami juga mengharapkan pemerintah nantinya mengontrol importir media agar dari segi harga kita tidak dipermainkan dan agar menjaga ketersediaan stok," tutup dia.

 

Saksikan video menarik berikut :

 


Hambatan lainnya

Dr. Sandy mengaku, dana merupakan hambatan terbesar untuk mengembangkan sel punca. Untuk melakukan investasi awal, diperlukan peralatan sesuai standar Current Good Manufacturing Practice (CGMP).

"Dalam pengembangan sel punca, kita selalu melakukan renovasi jika ada perubahan standar secara global. Untuk renovasinya kita membutuhkan 3-5 miliar," ucap dr. Sandy.

Selain itu, untuk menyimpan sel punca dibutuhkan liquid nitrogen dalam suhu yang terkontrol. Untuk menjaga hal tersebut, dibutuhkan listrik yang menyala setiap waktu.

"Untuk pengembangan sel ini, yang paling mahal maintenance-nya, rata-rata untuk bayar listrik bisa menghabiskan Rp200 juta sebulan," lanjut dia.

Selain hambatan dana, keterbatasan penggunaan sel punca adalah kurangnya pengembangan sel punca pada orang yang berusia 55 tahun ke atas.

"Kami sedang meriset bagaimana sel tetap bagus pada usia tua. Kemarin kita ke korea dan di sana sel punca bisa dikembangkan pada orang berusia 70 tahun. Ini sedang kami riset dan kembangkan," pungkasnya.

 

 

 

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya